SURABAYA (SurabayaPost.id) – Sidang dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah tahun 2019-2020 di Politeknik Negeri Malang (Polinema) kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Surabaya pada Kamis (20/11/2025). Agenda kali ini adalah pembacaan eksepsi oleh Awan Setiawan, mantan Direktur Polinema yang kini berstatus terdakwa.
Melalui tim penasihat hukumnya, Awan menyatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) memiliki sejumlah kelemahan, termasuk ketidaktepatan regulasi dan penempatan perbuatan pidana yang dianggap tidak sesuai. Oleh karena itu, ia meminta majelis hakim untuk menyatakan dakwaan tidak dapat diterima.
Advokat Sumardhan, SH, MH, salah satu dari tim penasihat hukum Awan, menjelaskan bahwa JPU menggunakan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PerLKPP) No. 12 Tahun 2018 sebagai dasar dakwaan. Namun, pengadaan tanah sebenarnya diatur secara khusus oleh UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dan aturan turunannya dari Kementerian ATR/BPN.
“Proses pengadaan tanah tunduk pada asas-asas kemanusiaan, keadilan, kesepakatan, keterbukaan, dan kesejahteraan. Ini berbeda dengan pengadaan barang dan jasa,” jelas Sumardhan.
Tim hukum Awan juga menekankan bahwa Polinema telah melakukan musyawarah dengan para pemilik tanah, La Poma, Muhammad, dan Hadi Santoso, dengan bukti notulen rapat sejak 2019 hingga 2020. “JPU menyebut klien kami melakukan pembelian tanah secara pribadi, padahal semua tindakan dilakukan atas nama institusi Polinema, bukan untuk kepentingan pribadi,” tegasnya.
Eksepsi Awan juga menyoroti klaim JPU bahwa objek tanah merupakan area ruang sungai di bawah kewenangan BBWS. “Tanah di sempadan atau badan sungai tidak mungkin diberikan SHM berdasarkan UU Sumber Daya Air dan Permen PUPR No. 28 Tahun 2015,” ujarnya.
Faktanya, tanah Hadi Santoso memiliki tiga SHM yang membuktikan bahwa tanah tersebut bukan bagian dari ruang sungai atau aset negara. Selain itu, Perda RDTR Malang Utara No. 5 Tahun 2015 menunjukkan kawasan itu masuk zona Pusat Pendidikan Tinggi, sesuai rencana perluasan kampus Polinema.
Mardhan, dari Law Firm Edan Law, menambahkan bahwa tuduhan JPU tentang tidak adanya appraisal harga tanah bertentangan dengan Pasal 53 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 6 Tahun 2015. “Pengadaan tanah di bawah 5 hektar boleh dilakukan langsung melalui jual beli tanpa appraisal independen. Total luas tanah yang dibeli Polinema hanya 7.104 m², dan klien kami tetap melakukan appraisal untuk memastikan harga wajar,” paparnya.
Atas dasar itu, tim hukum Awan meminta majelis hakim menyatakan dakwaan JPU tidak cermat, tidak lengkap, dan tidak jelas. Mereka juga meminta agar dakwaan ditolak atau dinyatakan batal demi hukum dan tidak dilanjutkan ke pokok perkara.
“Banyak manipulasi fakta dalam surat dakwaan JPU. Putusan perdata bahkan mengesahkan jual beli tersebut secara hukum. JPU juga terkesan tebang pilih karena 8 panitia pengadaan tanah tidak ditetapkan sebagai tersangka,” kritik Mardhan.
“Korupsi tidak mungkin dilakukan oleh satu orang. Didalam BAP pemeriksaan penyidik, beberapa panitia mengakui bahwa ia diperintah oleh klien kami. Artinya, orang yang diperintah juga sebagai pelaku kejahatan. Misalnya A menyuruh B membunuh, berarti B juga harus bertanggungjawab secara hukum sebagai pelaku pelaksana,” pungkas advokat senior Sumardhan didampingi Miftahul Irfan, SH, MH dan Ari Hariadi, SH serta Muhamad Syaiful Rizal, SHI, MH selaku tim kuasa hukum Awan.
Sidang selanjutnya bakal digelar pada 4 Desember mendatang dengan agenda tanggapan dari JPU. (lil).
