Fenomena Bumbung Kosong Meningkat, Ketua APHTN-HAN Jatim Prihatin

MALANG (SurabayaPost.id) – Fenomena bumbung kosong dalam Pilkada terus meningkat. Fenomena tersebut membuat Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Administrasi Negara – Hukum Administrasi Negara (APHTN – HAN) Jawa Timur, Prof Dr Suko Wiyono mengaku prihatin dengan  kondisi Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020. 

Menurut dia, sejak dimulainya Pilkada Langsung, fenomena bumbung kosong (kotak kosong) terus meningkat jumlahnya. Sehingga, calon kepala daerah, tidak mempunyai lawan sesama calon kepala daerah.

Hal itu terungkap saat seminar nasional Fenomena Bumbung Kosong dalam Pilkada di Era Covid – 19, di kampus Universitas Wisnuwardhana Kota Malang, Senin (02/11/2020).

“Dari data sejak tahun 2015, calon pemimpin daerah melawan calon kosong ada 3. Kemudian di tahun 2017 ada 9 kotak kosong. Tahun 2018 ada 16. Yang paling parah di tahun ini. Dari total 270 wilayah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah, ada 34 bumbung kosong. Sehingga, calonnya sendirian melawan kotak kosong,” terang Prof Sukowiyono.

Kondisi seperti itu (melawan bumbung kosong), lanjutnya, sejujurnya adalah lebih berat. Hal itu dikarenakan, lawannya bukan orang. Sehingga tidak bisa dinilai kecacatan atau kelebihannya. Sehingga pemilih tidak banyak pertimbangan. Di saat tidak cocok dengan calon yang ada, maka akan memilih kotak kosong.

“Melawan kotak kosong, saya kira malah semakin berat. Bumbung kosong, tidak bisa di nilai, karena tidak ada cacatnya. Kan bukan orang. Namun, hal itu tetap harus dilaksanakan sebagaimana putusan MK, No 100/puu-XIII/2015. Dan itu syah. Ketika calon kalah dengan kotak kosong, ini yang repot lagi. Maka akan diulang, kan biaya lagi,” lanjut ketua APHTN – HAN yang juga Rektor Unidha ini.

Kondisi seperti itu menurutnya, sangat Ironi. Sebagai negara demokrasi yang jumlah Partainya banyak, namun tidak mampu melahirkan kader yang mumpuni.

“Di negara kita banyak partai politik. Tapi kadang calonnya bukan dari kader sendiri. Malah mengusung calon dari luar partai. Ya kadernya sendiri malah tidak mendapat kesempatan. Jadi selain parpol kurang bisa melahirkan kader, bisa juga karena “mahar” politik yang mahal. Jadi, yang mempunyai modal besar, bisa ikut mencalonkan meskipun di luar kader,” pungkasnya.

Ia berharap, fenomena bumbung kosong tidak terus bertambah. Minimal harus dua pasang calon. Masyarakat juga harus berpartisipasi dalam agenda Pilkada, dengan mengambil hak suaranya. (lil) 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.