Oleh : Daniel Mohammad Rosyid
Tiga puluh tahun silam, episode Republik ini sempat diwarnai oleh peran ummat Islam yang makin ke tengah setelah sebelumnya di pinggiran. Menjelang kejatuhannya kemudian, Soeharto mulai mendekati ummat Islam dengan merestui pendirian ICMI. Sayang kedekatan dengan kekuasaan itu melenakan sehingga ICMI terjebak pragmatisme jangka pendek, kurang mewaspadai tantangan stratejik jangka panjang yang dihadapi oleh bangsa ini. Bukti paling penting kegagalan ICMI adalah membiarkan UUD45 diamandemen secara sembarangan oleh kelompok2 sekuler radikal justru saat tiga tokoh Islam Amien Rais, Akbar Tanjung dan Gus Dur di puncak karir politik mereka. Akibatnya, sejak reformasi peran ICMI justru semakin kecil. Hari ini, bahkan Anies Baswedan meragukan bobot ICMI untuk mampu menaikkan posisi tawarnya untuk maju pada kancah kontestasi kepresidenan yang akan datang.
Sebagai organisasi cendekiawan, seharusnya ICMI kembali ke khittahnya : melahirkan kompleks gagasan orisinal yang berpijak pada UUD45 sekaligus relevan menjawab dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara di abad 21. ICMI seharusnya tidak terjebak dalam politik praktis sektarian, namun secara kreatif membangun perangkat teknokratik yang dibutuhkan agar cita-cita Republik ini wujud. Ini harus dimulai dengan kembali pada cita-cita para pendirinya sebagaimana diamanatkan UUD45 sebelum diamandemen. Amandemen kemudian boleh dilakukan dengan cara menambahkan addendum. Amandemen ugal-ugalan yang telah terjadi telah membawa deformasi besar kehidupan berbangsa dan bernegara akibat berbagai maladministrasi publik : membuat berbagai undang-undang dan menafsirkannya bukan untuk kepentingan publik tapi untuk kepentingan sekelompok elite.
Untuk kesekian kalinya hingga hari ini, UUD45 sebagai dasar negara gagal diwujudkan dalam praktek karena batang tubuhnya sudah dibajak menjadi liberal kapitalistik. Para cendekiawan muslim gagal menyediakan perangkat ilmu yang dibutuhkan untuk menterjemahkan UUD45 menjadi kebijakan publik untuk memperkuat nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan dan gagasan-gagasan pokok dalam batang tubuhnya. Mereka ternyata masih terkesima dengan semua perangkat ilmu yang mereka peroleh dari Barat, sebagian kecil lagi juga Timur, sehingga gagal membangun perangkat ilmu baru yang dibutuhkan dalam mewujudkan sebuah Republik yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. ICMI gagal membangun kedaulatan pemikiran bagi bangsa yang merdeka sebagai amanah implisit UUD45.
Hingga hari ini, perangkat ilmu itu masih terbelah menjadi dua yg masing-masing dipelajari di UI dkk dan eks-IAIN dkk dengan metodologi yang nyaris bertolak belakang. Selama hampir 70 tahun pasca proklamasi kemerdekan, para cendekiawan muslim diberbagai kampus dan think tanks gagal mensintesis perangkat ilmu baru itu menjadi satu kesatuan yang berpijak pada UUD45 sekaligus sebagai instrumen operasional pemerintahan sebagai pengurusan kepentingan publik. Karena ketergantungannya pada perangkat ilmu Barat itu, pemerintah disengaja atau tidak lebih mengurus kepentingan sekelompok kecil elite, sambil menelantarkan kepentingan publik. Begitulah pengurusan kepentingan publik itu diserahkan pada pasar bebas dan demokrasi. Akibatnya publik jatuh menjadi jongos politik dan ekonomi sementara para cendekiawannya puas dan bangga menjadi pemulung pemikiran Barat. Akibatnya kedaulatan rakyat dibajak, kekayaan alam dikuras oleh korporasi asing sementara aparat sipil, polisi maupun militer ditarik berbagai kepentingan pragmatis sehingga sulit mempertahankan kesetiaannya pada konstitusi.
Mengembalikan peran ICMI ke khittahnya bukan sekedar memilih tim pengurus yang agreeable and high profile serta amanah, tapi sekaligus memenuhi kembali ruang kecendekiawanan yang kosong ditinggalkan media massa corong dan kampus yang makin terobsesi dengan profesionalisasi, scopus dan world-class ranking. Jangan sampai gelombang anti-kecendekiawanan yang disinyalir oleh Yudi Latif dan kini menerjang bak tsunami atas kesadaran kita dibiarkan oleh ICMI untuk sekedar agar anggotanya bisa duduk sebagai teknokrat di jabatan-jabatan publik. Pembiaran itu bisa berarti pengkhianatan.
ICMI kini di persimpangan jalan : meneruskan sikapnya yang ambigu selama paling tidak 5 tahun terakhir ini atau mengambil sikap baru. Sejarah akan mencatat apakah ICMI mampu bangkit secara asertif dan artikulatif untuk mengajukan agenda saintifik nasional yang baru, mengkonsolidasikan semua potensi dan sekaligus mengarusutamakan kepentingan publik dalam kerangka NKRI.
Rosyid College of Arts,
Stasiun Tawang, 4/12/2021
Leave a Reply