Oleh : Suparto Wijoyo
Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
HARI INI, 28 Oktober 2021, wajah Indonesia menoleh ke masa 93 tahun silam. Menyemai masa-masa yang penuh gelora kepemudaan untuk hadirnya bangsa yang merdeka. Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, telah memberikan secarik kertas kenangan tetapi menjiwa dalam lembar peradaban. Para pemuda berjanji dengan luapan emosinya sehingga layak disemat kata sumpah untuknya. Kaum muda itu mendemonstrasikan sumpahnya dalam kelindang perjuangan. Ikrar mereka jelas bahwa para pemuda Indonesia itu mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Inilah janji yang harus diteguhi dalam ruang kebangsaan yang menjadikan Indonesia tetap bersatu dan siap bangkit serta tumbuh dari situasi sesulit apapun, termasuk masa dilanda pandemi Covid-19.
Semua menjadi gamblang untuk ditiru dan diabadikan dalam lirik kehidupan setiap pemuda Indonesia. Dalam segala lini kehayatan para pemuda Indonesia saling menebarkan kehendaknya bagi keutuhan bangsa. Hal yang bisa dilakukan tentu saja sangat spesifik termasuk membangun keluarga Indonesia dengan perkawinan lintas kawasan. Presiden Joko Widodo sendiri harus bermenantu dari wilayah Sumatera yang kini menjadi Walikota Medan. Ini seolah memantapkan posisi jalan mula sang mertua yang menempati posisi Walikota Solo sebelum menduduki tahtah yang diharapkan banyak tokoh politik.
Saya sendiri pun memperistri Mojang Priyangan dalam kategori Putri Sunda dalam makna rangkuman kisah yang lebih menggelora. Perkawinan antara orang Jawa-Sunda merupakan penanda untuk “membasuh luka, membalut derita, menyorongkan islah” akibat kelamnya cerita yang menyerta di Pelataran Bubat, Majapahit. Kisah yang diabadikan dalam “dendam diam-diam” walau sejatinya sangat menghunjam. Maka pernikahan lintas dan lingkar ras serta suku bangsa menjadi “aroma penyebar kerinduan” lebih meng-Indonesia. Memperkuat kekokohan Indonesia pada “zaman now” adalah ikhtiar melahirkan pahlawan pernikahan antarwarga manusia Pancasila.
Indonesia memang negara penuh keragaman. Ini adalah taman raksasa yang musti dikelola agar di “rimba raya” tidak terjadi kesemena-menaan. Semua boleh munumbuhkan pohon atau tanaman hias untuk memperindah Indonesia. Pepohonan yang tinggi menjulang dapat menyumbang oksigen agar Bumi Pertiwi tetap dalam posisi paru-paru dunia. Kembang-kembang yang berwarna-warni biarlah asyik menyelinap memberi sapaan “genitnya” pada mentari ataupun rembulan. Semerbak wanginya terkirim tanpa memberatkan “tukang pos” dari arah angin mana saja. Semua dapat bersatu hanya atas nama Indonesia dan tentu betapa bergembiranya “pembuat sejarah” Goenawan Mangoenkoesoemo (1889-1929) menyaksikannya. Beliau adalah salah seorang dari Siswa yang tergabung di STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) – Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra.
Saya memahami bahwa dari STOVIA inilah sebuah cita-cita persatuan kebangsaan digagas dan dikristalisasi dalam wadah perkumpulan Boedi Oetomo (BO). Langkah pembentukan BO ini langsung mendapatkan respon serius dari kaum terdidik Bumiputra yang duduk di bangku-bangku Sekolah: Landsbouwschool (Sekolah Pertanian), Veeartsenijschol (Sekolah Dokter Hewan), Hoofdenschool (Sekolah Kepala Negeri), Opleidingschool, Kweekschool bagi Guru, termasuk Burger-Avondschool (Sekolah Malam untuk Penduduk).
Gelegar sebaran pendirian BO dari Gedung STOVIA Jakarta tanggal 20 Mei 1908 (dengan segala kontroversialnya “laku tokoh-tokohnya terhadap ajaran Islam”) merupakan jawaban atas kebutuhan peradaban yang menuntut kaum terdidiknya berbuat terbaik bagi rakyat. Peristiwa demi peristiwa yang menggambarkan penderitaan lahir batin rakyat menyembulkan komitmen kaum terdidik untuk memperkuat persatuan nasional melalui organisasi BO. Penderitaan rakyat direkam amat jelas dalam tulisan Goenawan Mangoenkoesoemo mengenai Lahirnya Boedi Oetomo (1908-1918). Terdapat telisik kejadian yang sangat miris yang menimpa bangsa ini. Diceritakan sepenuh jiwa apa yang dirasakan penduduk Hindia Belanda di berbagai arena umum: di trem, di kereta api, di lapangan bola, kaum Bumiputra mempunyai nilai tidak lebih dari keset kaki, seperti seekor anjing yang dilempari batu oleh anak-anak di jalan besar. Lebih dari itu, nestapa yang menggambarkan nasib kelam bangsa ini ditorehkan: di Hindia Belanda, saudara menemukan caci maki. Mereka sengaja menggunakan kata inlander (“pribumi”) untuk menyakiti hati, merendahkan, menjelekkan bahwa ini adalah bangsa yang malas, bodoh, jorok, kejam, tak tahu terima kasih, dan tak berperasaan. Inilah penghinaan yang diterima leluhur kita oleh kaum kolonilais.
Ungakapan “historis” Goenawan Mangoenkoesoemo sangat membekas di hati khalayak untuk membulatkan tekad Merdeka. Semangat yang tumpah “dijalanan” menjadi “gelombang pergerakan” yang akhirnya “memanen” kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang sampai jua di 22 Oktober 1945: Resolusi Jihad. Ini adalah “sabda agung” para pinisepuh, ulama dan santri yang memiliki gairah kebangsaan. Sekutu yang memberi tumpangan kepada Belanda dengan “kolusi imperialis” Jepang-Inggris tetap tidak berdaya menghadapi “gerakan syariah” melalui Resolusi Jihad. 10 November 1945 mengerek tinggi-tinggi kehormatan NKRI di mata internasional. Hari Pahlawan menjadi tersemat spesifik di sebuah wilayah yang kini kenal sebagai Kota Pahlawan. Ini adalah produk keberpihakan kebangsaan dengan “kelambu iman” Islam yang sangat super. Naskah Resolusi itu meliterasi dengan terang kewajiban menegakkan kemerdekaan Negara dan Agama Islam. Muslim sungguh-sungguh menggedor “langit keangkuhan” penjajahan dalam “lumatan bambu runcing” yang sudah berselubung “asmak” kesucian.
Hari inipun Indonesia tetap mampu “mendongak” mengangkat hormat dan martabat. Persaudaraan untuk menyapa sesama anak bangsa juga terselenggara. Buliran riasan kemanusiaan menyebarkan harum yang baunya tercium oleh jiwa-jiwa kemesraan. Relasi kebangsan ini seolah melati yang terangkai dengan seonggok karangan bunga yang bermahkota Mawar. Indah nian bunga ini menyimbulkan keteguhan cinta dan lambang keabadian asmara. Harum mawar bukan pada kelopaknya melainkan warna yang tajam merekam. Meski demikian, mawar tak elok pongah merasa mendominasi keindahan taman sari katrisnan Indonesia dengan “mengeluarkan” duri-duri tajamnya. Bukankah duri tajammu bukan untuk “membubarkan” santri melati yang bersemi “gemar mengaji”? Ingatlah bahwa semua “bunga bangsa” berkontribusi pada “pesta negeri ini”, bukan hanya kau yang seolah kukuh menjadi “mawar” yang sering berlagak paling setia dengan falsafah negara.
Leave a Reply