Oleh Farhat Abbas
Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Per tahun 2002, Garis-garis Besar Haluan Negara “hilang” dari sistem ketatanegaraan negeri ini. Dalam perjalanannya, ternyata banyak dinimaka ketetanegaraan yang akhirnya banyak elemen masyarakat, terutama para elitis politisi memandang perlu kehadiran kembali GBHN. Dan melalui Simposium Kebangsaan di MPR, 7 Desember 2015, terlontar pemikiran tentang pentingnya bangsa Indonesia memiliki pedoman dalam melaksanakan pembangunan sehingga siapapun presidennya nanti harus terus melanjutkan pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah sebelumnya. Atas nama kesinambungan pembangunan, cita dan harapan ini hanya dapat berjalan ke arah yang benar jika negara Indonesia memiliki apa yang disebutnya sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Keinginan itu ternyata menuai pro-kontra. Masing-masing punya landasan argumentasi yang berbasis plus-minus pemberlakuan kembali GBHN. Plus-minus itu tentu mengundang sorotan publik tentang perlu dan tidaknya menghadirkan kembali GBHN sebagai pedoman atau arah pembangunan bangsa-negara.
Seperti kita ketahui, melalui Sidang Tahunan MPR pada 1 hingga 9 November 2001, terjadi amandemen ketiga yang disahkan sehari setelahnya. Di antara pasal yang diamendemen adalah Pasal 3 UUD NRI, tentang posisi lembaga MPR RI yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. MPR saat ini — pasca amandemen ketiga — sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti DPR, DPD, lembaga kepresidenan, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Yudisial (KY). Kewenangannya pun berubah, termasuk tidak lagi menjadi lembaga yang merumuskan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dan memang, sejak amandemen ketiga diberlakukan secara efektif, GBHN tak ada sejak 2002. Hilang setelah pernah berlaku sejak 1973 hingga 2001 (amandemen ketiga) itu.
Kini, setelah GBHN tiada selama 19 tahun, muncul kebutuhan untuk menata kembali sebuah sistem ketatanegaraan bahwa GBHN perlu dihidupkan kembali. Yang perlu kita pertanyakan, harus dan perlukah GBHN itu? Lebih dari itu, apakah penghidupkan kembali GBHN menjamin efektivitas kinerja lembaga MPR dan pemerintahan yang bersistem presidential? Dan yang lebih substantif lagi, apakah menghadirkan kembali GBHN itu akan memperkuat hak-hak rakyat?
Sebenarnya, sejak kepemimpinan MPR periode 2009 – 2014, sudah dikumandangkan wacana amandemen terbatas UUD NRI 1945 dengan tujuan utama menghidupkan kembali GBHN. Agenda perubahan UUD NRI 1945 bisa disepakati jika diusulkan oleh sepertiga anggota MPR. Perubahan bisa dilanjutkan bila disetujui 50% + 1 dari dua pertiga anggota MPR yang hadir dalam sidang paripurna. Sejarah mencatat, rapat gabungan MPR periode itu membahas draft amandemen UUD1945 yang bakal digelar pada 28 Agustus 2019 saat itu. Namun, karena hampir habis periodenya dan tidak memungkinkan untuk dibahasnya, maka hanya keputusan draft yang dibawa ke rapat paripurna MPR terakhir pada 27 September 2019. Ternyata disetujui dan menjadi rekomendasi resmi saat sidang akhir masa jabatan MPR 2014-2019.
Fakta politik bicara. Sampai akhir periode 2019, amandemen kelima — meski bersifat terbatas — belum berhasil mewujudkan titik terang. Agenda utama tentang menghidupkan kembali GBHN dan atau sejenis masih terus dalam pembahasan dan proses politik internal dan eksternal parlemen. Karena itu, dalam periode 2019 – 2024 ini, agenda amandemen kelima yang terfokus pada perumusan GBHN dan atau sejenis masih tetap bergulir. Dari pembahasan dan proses politik parlemen diharapkan membuahkan kualitas demokrasi lebih jauh dalam bentuk pernguatan checks and balance antar-institusi negara yang diatur dalam UUD NRI 1945, terutama lembaga eksekutif versus lembaga legislatif. Sekali lagi, buah manis kualitas demokrasi itu perlu berangkat dari kesamaan pintu. Dan GBHN memang bisa menjadi pintu masuk ke rona ketatanegaraan yang diharapkan.
Argumentasi Protagonis
Jika kita cermati, wacana amandemen kelima untuk menghidupkan kembali GBHN cukup simpel landasannya. Yaitu, negara Indonesia yang sedemikian besar atau luas ini ingin memiliki haluan negara yang jelas untuk masa depannya. Persis seperti sejumlah negara lain yang memiliki sketsa pembangunan sekitar seperempat, setengah, bahkan seabad ke depan. Ada gambaran ilustratif, Indonesia yang tidak memiliki haluan negara bagaiakan berlayar jauh tanpa arah yang jelas. Inilah gambaran para pihak yang kehadiran kembali GBHN dan atau semacamnya.
Barisan protagonis ini juga melihat ketiadaan GBHN telah mengakibatkan ketidaksinkronan desain rencana pembangunan negara versus daerah. Pusat dan Daerah — sebagai konsekuensi sistem pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung — telah mempersiapkan visi-misinya. Janji politik sang presiden — ketika dirinya berhasil dalam kontestasinya — harus dikemas dalam sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) yang kemudian dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), bahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan jangka Pendek. Dalam spektrum berbeda, calon kepala daerah — saat berkontestasi — pun harus menyampaikan visi-misinya, yang kemudian tertuang menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Jangka menengah dan Jangka Pendek.
Yang menjadi persoalan, tekad baik untuk menjalankan kewajiban sebagai presiden dan atau kepala daerah sering terjadi ketidak-konstinan, bahkan ketidakakuran. Problem dasarnya bukan pada ego sentralisme atau ego lokalisme, tapi kadang dijumpai perbedaan karakter topografis daerah dengan segenap varian tuntutan lokal yang demikian beragam. Sementara, Pusat — secara teoritik — harus mampu mengakomodasi seluruh karakter dan tuntutan lokal. Di sisi lain, daerah juga diperhadapkan kondisi yang sangat dinamis, bahkan cita-cita yang spektakuler. Sebagai visi-misi, tentu tak bisa disalahkan keinginan dan tekad yang melambung angkasa. Hal ini membuat Pusat tidak bisa menggunakan pendekatan pemaksaan (top down) yang sama dalam merumuskan desain pembangunan nasional yang berpijak pada kepentingan seluruh daerah. Inilah problem ketidaksinkronan desain rencana pembangunan yang tidak mudah diformulasi oleh RPJPM dan atau RPJPN.
Di sisi lain, RPJPM, RPJPN dan rencana pembangunan daerah juga diperhadapkan ketidakpastian keberlanjutan program pembangunan. Problem ini dihadapi Pusat dan Daerah. Faktornya terletak pada ketidakpastian masa kepemimpinan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari rumusan RPJPM, RPJPN dan rencana pembangunan daerah lebih merupakan formulasi teknis. Tak beda dengan GBHN yang juga merupakan visi besar desain pembangunan dan juga memasuki alam teknis, namun GBHN — karena politik Orde Baru yang mampu mempertahankan masa kekuasaan lebih dari dua periode — maka GBHN seperti mendapat kepastian untuk mengaktualisasikannya. Bagaimana dengan masa kepemimpinan yang — menurut konstitusi — hanya dibatasi maksimal dua periode? Jika haluan negara yang diinginkan mirip dengan formulasi GBHN, kiranya tak bisa diharap lebih jauh untuk merealisasikan seluruh cita-cita pembangunannya selagi modelnya sampai ke wilayah teknis.
Karena itulah, RPJPM, RPJPN dan atau rencana pembangunan daerah tidak bisa diandalkan sebagai platform pembangunan negara atau daerah yang berkesinambungan atau berkelanjutan. Hal ini merupakan konsekuensi dari pergantian kepemimpinan nasional atau daerah, yang masing-masing mempunyai selera bahkan agenda tersendiri yang belum tentu sejalan dengan kepentingan nasional atau daerah. Yang perlu kita catat, perencanaan pembangunan membutuhkan fleksibilitas kebijakan dari tingkat pusat hingga daerah. Fleksibilitas memudahkan akselerasi sehingga perencanaan pembangunan tidak kaku dan tidak kontraproduktif dengan perkembangan zaman yang sangat cepat.
Ada satu hal yang juga tak bisa dipadang sebelah mata, visi-misi besar yang tertuang dalam RPJPM, RPJPN dan rencana pembangunan daerah hanyalah dirumuskan oleh Tim Khusus pemenangan. Berarti, tingkat pastisipasi publiknya sangat terbatas. Dengan demikian, kualitas dan bahkan spektrum visi-misi yang dibuat Tim Khusus dapat dipastikan lebih terbatas dibanding rumusan yang melibatkan banyak komponen publik seperti GBHN, meski terwakili oleh para wakilnya di MPR itu.
Satu hal penting dari makna menghidupkan kembali GBHN dan atau sejenisnya adalah keberadaannya menjadi barometer kepemimpinan berhasil dan gagalnya. Melalui GBHN, terdapat celah rakyat untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Manakala kepemimpinannya gagal didasarkan pada standar yang jelas, berapa besar capaian mewujudkan GBHN. Manakala dinilai gagal, maka — melalui MPR — rakyat dapat meminta pertanggungjawaban Presiden. Permintaan ini tak lepas dari kinerja eksekutif memang tak bisa lepas dari sorot mata rakyat. Itulah konsekuensi sistem demokrasi dimana rakyat berdaulat penuh untuk mengontrol sebagai korelasi penyerahan haknya untuk dikelola negara/pemerintah. Sistem kontrol rakyat haruslah dilihat sebagai keseriusan pemerintah dalam menjalankan amanat rakyat.
Sementara, PPJPM dan atau RPJPN — sebagai akibat perubahan fungsi dan wewenang MPR — diletakkan sebagai artikulasi perumusan cita-cita (visi-misi) yang dijanjikan saat berkontestasi. Dan itu sama sekali tidak dijadikan barometer untuk menilai kinerja pemerintah. Meski gagal dalam mewujudkan RPJPM-RPJPN, rakyat tak bisa menggugatnya, apalagi sampai menuntut kelengseran Presiden. Meski rakyat diparhadapkan penderitaan yang sangat nyata akibat ketidakmampuan memimpin negara, rakyat tetap tak bisa menuntut lengser akibat keterbatasan kinerja pemerintah. Memang, MPR dapat melakukan impeachment, tapi terkait hal-hal yang tercela menurut UUD dan itu pun kecil kemungkinannya MPR dapat memprosesnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD NRI 1945. Berbelit, selagi panggung parlemen masih dikuasai Pemerintah.
Proses prosedural itu — setidaknya — mendorong dua implikasi. Pertama, proses yang bottle neck itu mendorong rakyat yang sudah tak tahan akan melakukan gerakan ekstraparlementer. Jika hal ini terjadi, maka bukan hanya prahara politik, tapi — sangat mungkin — diawali dengan kerusuhan sosial seperti penjarahan, bahkan tragedi ketidakmanusiaan karena sentimen antietnis dan lainnya. Kedua, ketidakpercayaan publik terhadap istitusi lembaga parlemen, bahkan Mahkamah Konstutusi (MK) yang dinilai tidak responsif atau tidak peka terhadap kondisi obyektif bangsa dan negara. Parlemen dan lembaga lainnya yang terkait kehilangan legitimasi.
Ketidaksetujuan Kehadiran Kembali GBHN
Di samping para pihak yang setuju dengan kehadiran kembali GBHN, terdapat juga kalangan yang tidak setuju atau keberatan. Tentu dengan argumentasi rasional yang layak kita cermati. Pertama, sebagai konsekeunsi sistem pemilihan presiden-wakil presiden yang bersifat langsung, pasangan ini — saat maju kontestasi — diharuskan menyampaikan visi-misinya. Ketika dirinya menang, maka visi-misi ini dijadikan rancangan pembangunan selama pemerintahannya. Itulah yang kita kenal dengan RPJPM dan RPJPN. Konsekuensi sistem pemilihan langsung ini menjadikan GBHN menjadi tidak relavan lagi.
Kedua, kehadiran kembali GBHN dinilai bisa mengunci ruang gerak presiden terpilih. Penguncian ini bisa dinilai tidak adil. Sebab, seperti kita ketahui, pasca reformasi dan amandemen ketiga, masa jabatan presiden – wakil presiden hanya lima tahun dan maksimal dua periode (sepuluh tahun). Karena itu, penguncian melalui GBHN itu akan mengakibatkan keterbatasan presiden dan wakil presiden terpilih dalam mewujudkan cita-cita dalam ruang waktu yang terbatas itu.
Ketiga, konsekuensi sistem pemilihan secara langsung itu membuat pertanggungjawaban presiden-wakil presiden langsung kepada rakyat sebagai pemilih, bukan lagi MPR yang dahulu sebagai mandataris. Proporsi pertanggungjawaban kepada rakyat inilah, maka yang dijadikan dasar penilaian adalah RPJPM da RPJPN. Keempat, catatan historis menunjukkan, sistem pertanggungjawaban yang dahulu melalui MPR, mengakibatkan sistem presidensial rusak. Karena sejumlah faktor politik dan pembangunan yang tertuang dalam GBHN, posisi presiden mudah digoyang manakala MPR dipakai sebagai sarana menjatuhkan presiden. Praktik politik seperti ini sesungguhnya hanya ada pada sistem parlementer. Karenanya menjadi ambigu. Di satu sisi, konstitusi menegaskan negara kita menganut sistem presidential, tapi dalam praktiknya parlementer. Ada inkonsistensi pilihan sistem pemerintahan.
Kelima, kekuatan dominan yang sejatinya bersistem parlementer itu, sejarah mencatat terjadinya tragedi pemakdzulan, yang “dikelola” oleh lembaga MPR. Sementara, penguasaan lembaga MPR bisa dibangun oleh sejumlah kekuaatan elitis, sebagai partai ataupun golongan tertentu. Jika mencermati proses pemakdzulan terhadap Soekarno, saat itu lembaga MPR dikuasai golongan tertentu, terutama Angkatan Bersenjata yang berpengaruh pengaruh besar dalam ruang oval MPR. Abdul Haris Nasution yang saat itu sebagai Ketua MPRS — menurut catatan saksi sejarah — menginstruksikan orang tertentu untuk mengunci sejumlah anggota MPRS di ruang masing-masing, terutama yang dinilai pro Ore Lama. Dengan penguncian sementara, pidato Nawaksara Soekarno ditolak. Akhirnya, Soekarno kehilangan mandat MPRS.
Sementara, jika kita cermati proses politik pemakdzulan terhadap Gus Dur, itu pun tak lepas dari nafsu politik elit tertentu dimana Megawati selaku Wakil Presiden punya pengaruh besar terhadap anggota MPR. Karena kontribusi politik Megawati, di samping elitis lainnya, proses politik pemakdzulan terhadap Gus Dur tidak mengalami kendala politik yang berarti. Memang ada inside story yang sangat personal yang mendorong Ketua Umum PDIP harus melakukan pembiaran proses pemakdzulan terhadap Presiden Gus Dur saat itu.
Keenam, pelaksanaan GBHN berpotensi punya implikasi pada hubungan yang tidak egaliter antara presiden dan MPR. Hal ini karena presiden harus melapor pada MPR terkait pelaksanaan GBHN.
Hubungan yang tidak seimbang itu mengganggu mekanisme saling kontrol antarlembaga, sehingga rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan, di antaranya pemakdzulan itu.
Itulah pro-kontra menghidupkan kembali GBHN. Mencermati sikap pro-kontra itu, Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai bobot argumentasi barisan protagonis atas kehadiran kembali GBHN lebih rasional dan karenanya perlu dipertimbangkan lebih serius. Tampaknya, yang perlu dicerna lebih jauh adalah formulanya. Jika menghadirkan kembali GBHN model dulu, hal itu menimbulkan konsekuensi hukum ketatanegaraan, yang dengan sendirinya harus mengembalikan posisi dan fungsi MPR. Karena itu, GBHN yang harus dihadirkan kembali adalah dalam formula baru, yakni rancangan pokok-pkok haluan negara (PPHN).
PPHN ini menjadi pedoman bagi desain pembangunan yang dipersiapkan RPJPM dan atau RPJPN. Dengan menjadikan PPHN sebagai pedoman, maka setiap program pembangunan akan tetap berjalanan kesinambungannya tanpa terganggu oleh pergantian kekuasaan. Inilah PPHN sebagai reformulasi GBHN, yang posisi hukumnya — saat merumuskan PPHN — cukup di MPR, yang produknya tercatat sebagai ketetapan MPR. Lebih kuat secara konstitusi jika dibandingkan sebagai UU.
Jakarta, 31 Juli 2021
Leave a Reply