Merdeka Bersama Kaum Kerabat ?

Oleh : Suparto Wijoyo

MERDEKA. HUT Kemerdekaan Ke-75 Tahun Indonesia dirayakan dengan berbagai cara meski di saat pandemi Covid-19 belum beranjak. Namun temuan Obat Covid-19 dari Universitas Airlangga yang bekerjasama dengan TNI-AD dan BIN memberikan optimisme bahwa bangsa ini dapat segera merdeka dari Corona. Sebuh bentuk kontribusi dunia kampus untuk kemanusiaan, betapapun hal ini masih kontroversial. Kami tetap berpedoman pada kapasitas keilmuan dan teknologi guna mempersembahkan solusi mengatasi pandemi Covid-19 pada peringatan HUT Kemerdekaan, 17 Agustus 2020. Suara di luaran yang masih ragu, bahkan hendak menggugat, tentu punya perspektif tersendiri tetapi kami hendak berkomitmen untuk memenuhi panggilan negara dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah seperti diamanatkan UUD 1945.

Lain kampus lain pandangan dan lain pilkada lain pilihan, termasuk soal pencalonan yang kini marak mewarnai praksis demokrasi. Simaklah berita-berita di media massa akhir-akhir ini. Beragam media telah memberitakan politik dinasti dan sanggahan atasnya pun dilakukan. Terdapat koran yang memberikan peneguhan warta (12/8): PDIP Restui Kerabat Jokowi dan Prabowo, bahkan dikabarkan PKB-Golkar Usung Gus Ipul di Pilwali Pasuruan (Jawa Pos, 12/8/20). Kini pemahaman publik sedang digiring untuk mencoba merenungi konstalasi meraih kekuasaan yang berputar-putar dari: orang tua, anak, menantu, istri, suami, ponakan, paman, bibi, cucu-cicit. Wilayah Pasuruan hendak pula digenggam adik-kakak. Mereka tega melakukan itu atas nama demokrasi.

Kemunafikan Demokrasi

Fenomena itu mengukir raga demokrasi yang berjiwa nepotis. Pemilihan pemegang otoritas mestinya sebagai instrumen agar kepemimpinan memiliki keabsahan tanpa cela KKN. Pilkada dalam tataran paling nyata terbukti sekadar sarana membangun rezim kekeluargaan dengan argumentasi demokrasi. Pada intinya pilkada 2020 bermuatan “kemenangan tiranik” yang diberi atribut demokratik. Inilah demokrasi yang mengantarkan aristokrasi baru yang berhulu-hilir kekerabatan. Situasi demikian membuka ruang diskursus filosofis mengenai makna sebuah pemilu dalam kerangka demokrasi yang melahirkan gen birokrasi yang beraroma KKN. Inilah demokrasi yang tertikam tirani atau tirani yang berkamuflase demokrasi untuk tidak mengatakan pilkada yang berkelindan kemunafikan demokrasi.

Ada Etika Memimpin

Konstruksi yang terpotret adalah pilkada 2020 ini memberi ruang memanggungkan pengangum kekuasaan yang minim etika. Mereka sedang menyibukkan diri menduduki posisi sebagai penguasa, bukan pemimpin. Pilihan inilah yang sedang dipertontonkan dan sejurus nyali sejatinya menyingkirkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan  melaluiniat kolektif kerakyatan yang dikuasai parpol yang mendelegitimasi martabat rakyat. Demokrasi dan musyawarah dijungkalkan dengan suara terbanyak yang digendong jamaah kaum kerabat dan dijauhkan dari hikmah pendiri negara yang meletakkan dasar-dasar perwakilan. Makna terdalam sila keempat Pancasila sedang dibuang dengan sengaja oleh pemain demokrasi tanpa nilai obyektif. Sampai pada sisik melik pilkada demikian ini, siapa sejatinya yang menenggelamkan makna demokrasi ? Rakyat digiring untuk mengikuti pilkada yang terpotret mengabaikan hikmat kebijaksanaan tetapi puas dengan nikmat pilkada sepersusuan. Hadirnya penguasa daerah produk nepotisme merupakan potret bencana hukum pemerintahan yang semakin melengkapi helatan tragedi bencana alam. Pemangku kuasa negara tampil tanpa tedeng aling-aling menggiring negara hukum (rechtsstaat) menuju negara kekuasaan (machtsstaat). Rekomendasi terus-menerus dimasak dengan kepulan aroma yang menyesakkan rongga-rongga sosial rakyat. Tekad parpol mengusung pemilik DNA keluarga dilempangkan aturannya, tetapi amat benderang konten niretiknya. Sadarilah bahwa di negeri ini sudah ada paugeran berkuasa yang anti KKN.
Dalam Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa telah diamanatkan kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Apalagi ada kewajiban hukum dalam menjalankan seluruh undang-undang sedasar sumpah, semisal sumpah Presiden menurut Pasal 9 UUD 1945: Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut: Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Bertindak baik dan adil ternyata pilihan utama yang dipersumpahkan oleh pelaku kekuasaan negara yang diembannya. Menjalankan segenap regulasi negara merupakan tuntutan konstitusi yang harus dilaksanakan. Tindakan bermanuver tafsir terhadap aturan pilkada yang tidak melarang paslon nepotis menimbulkan penilaian sikap memungguni fatsun bernegara. Suatu tindakan yang sangat melecehkan wibawa negara hukum yang tidak hanya menyangkut teks hukum tetapi juga etika kehidupan berbangsa. Pemimpin yang menunjung tinggi etika pemerintahan niscaya merasa risih dan mengajarkan kebijakan personal untuk mengambil posisi tahu diri. Isok ngrumangsani.

Mereduksi Hukum

Khalayak tersentak melihat kenyataan paslon yang dipermaklumkan. Hukum pilkada digiring ke simpang jalan kekaisaran. Hukum direndahkan supremasinya akibat laku pemanggul mandat yang tetap setia dengan ‘perkoncoan’. Hal demikian mereduksi hukum pilkada serumpun pasal-pasal yang berjejer tanpa rasa keadilan. Parpol dan KPU dapat melakonkan diri menjadi penegak keadilan, bukan abdi yang mahir mengurai pasal-pasal umum semata. Kalau hukum terus diseret ke kaukus politik dan membaringkannya di tepian lapangan untuk memagari kekuasaan yang membopong kekerabatan, inilah sinyal terang dering lonceng kematian negara hukum.

Kini kita semua dapat menyaksikan tingkat integritas para tokoh kekuasaan. Kondisinya mengaduk-aduk nurani demokrasi yang disertai agitasi. Adu rekomendasi berputar di lingkar kerabat senantiasa membentur tembok sosio-kultural yang dapat menggelombangkan geram sosial. Semua dipertontonkan dan pikiran warga negara membuncah penuh tanda tentang candu kekuasaan yang menjalar di ruang keluarga.
Atau kita saja yang terlalu curiga dan dianggap tidak paham bahwa semua calon secara khusnudhan adalah baik. Dengan demikian tidaklah benar kalau mereka nepotis, sebab mereka mau mengabdi. Untuk itulah kita dipersilahkan nrimo ing pandum tanpa ribet mengenai dalil-dalilnya, mengingat semua kembali ke substansi demokrasi pemilih sendiri. Sambil mengamati kaum kerabat penguasa, mari mengenang pantun dari tanah Melayu:
Orang Keling berkedai kain,
Kapas sudah menjadi benang.
Baik berpaling pada yang lain,
Hak yang lepas jangan dikenang.

Tetaplah semangat meneriakkan pekik MERDEKA dan berdoa DIRGAHAYU INDONESIA.

Penulis adalah :

Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.