‘Pengorbanan Menjadi Munafiq’

 

Oleh : Prof. Daniel Mohammad Rosyid

Menghadapi pandemi Covid-19 ummat Islam terpecah soal sikapnya terhadap sholat berjamaah di masjid. Seliweran pesan medsos menunjukkan kontroversi ini. Sebagian dengan terpaksa mengikuti MUI yang sudah berfatwa bahwa masjid di kawasan merah harus berhenti menjalankan sholat jamaah, termasuk sholat Jumat. Sayang kategorisasi kegawatan penularan Covid-19 tidak cukup dijelaskan oleh pihak yang berwenang sehingga tidak cukup memberi kepastian pada takmir masjid di lokasi tertentu.

Sebagian ulama dan ummat Islam yang lain bersikukuh bahwa dalil untuk menghentikan sholat berjamaah, apalagi sholat Jumat, tidak bisa diterima. Lalu diajukan dalil lain yang menganjurkan agar sholat berjamaah, apalagi sholat jumat, tetap diselenggarakan. Tulisan ini tidak membahas soal dalil2 fiqh ini.

Mungkin tidak banyak muslim yang tahu bahwa fiqh sebagai ilmu baru berkembang paling tidak 200 tahun setelah Rasulullah wafat. Terutama setelah hadits banyak dikumpulkan dan ditelaah serta pemikiran Yunani banyak mempengaruhi ulama muslim. Saat Rasulullah hidup, belum ada ilmu fiqh, juga ilmu tauhid. Ummat Islam meniru saja apa yang diteladankan oleh Rasulullah, tidak bertanya apakah sholat yang dilakukan beliau itu wajib, sunnah, atau mubah. Juga tidak bertanya puasa, zakat dan haji itu hukum fiqhnya apa. Yang jelas, hanya dalam waktu kurang dari 25 tahun, bangsa Arab yang jahil berubah menjadi ummat Islam yang menjadi pelita peradaban hingga hari ini. Sulit membayangkan transformasi besar bersejarah ini terjadi tanpa manajemen stratejik.

Jika kita tinggalkan kerangka fiqh dalam membahas penyelenggaraan sholat jamaah di masjid, termasuk sholat jumat, kita bisa mengambil sikap sebagai berikut. Saya mengusulkan untuk merumuskan sikap ini dari sudut pandang manajemen. Manajemen mempelajari bagaimana membagi tugas dan sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuan.

Masjid perlu dilihat tidak hanya sebagai property dengan atribut2 fisiknya saja. Kita perlu lihat masjid sebagai institusi yang mengelola pelayanan bagi jamaah, tidak hanya untuk kebutuhan ibadah ritual, tapi ibadah dalam arti luas termasuk sebagian muamallah. Jika kita melihat persoalan pelaksanaan syariah Islam dalam perspektif manajemen, sholat jamaah adalah salah satu program peningkatan mutu para mukmin untuk menjadi muslim. Ada program lain seperti puasa dan zakat serta haji. Bukti peningkatan mutu muslim itu harus dilihat tidak hanya di dalam masjid, tapi yang penting justru di luar masjid untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, tidak cuma manusia, apalagi cuma muslim.

Setiap peribadatan Islam tidak pernah untuk kepentingan Allah swt sendiri semata. Semuanya kembali untuk kepentingan kebaikan manusia sendiri dan alam semesta. Allah swt terlalu kaya dan mandiri untuk membutuhkan manusia. Terserah apakah manusia mau beriman atau tidak. Iman atau kufur seluruh manusia, tidak menambah atau mengurangi keagunganNya. Islam adalah proposal Allah swt untuk mengatur cara hidup kita, sejak pribadi hingga bermasyarakat dalam kemajemukan, sebagai biaya yang perlu kita korbankan untuk memperoleh manfaat iman : kehidupan yang indah di dunia dan di akhirat. There is no such thing as a free lunch in the world

Jika kita merasa sehat, tapi menduga bahwa kita terjangkit Covid-19 karena berbagai alasan, tapi khawatir tanpa sengaja menulari sesama jamaah, lalu memutuskan tidak sholat berjamaah di masjid di dekat rumah kita, kita telah mengorbankan diri untuk membuka peluang terperosok ke dalam golongan munafik. Kebijakan karantina wilayah, yang dihindari terus oleh Pemerintah saat ini, akan meminta pengorbanan lebih banyak bagi ummat Islam atau Pemerintah sendiri.

Jika badai pandemi Covid-19 ini telah berlalu, akan dibuktikan apakah kita masih hadir sholat subuh berjamaah di masjid terdekat dari rumah kita. Keputusan kita ini tidak dipertanggungjawabkan ke MUI atau siapapun. Hanya kepada-Nya. Wallahu a’lam.

Gunung Anyar, 11/4/2020

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.