Gresik dan Ilusi Otonomi Fiskal

Oleh : Mokhamad Masduki

Gresik dikenal sebagai salah satu kota industri terbesar di Indonesia. Kawasan ini menjadi jantung ekonomi Jawa Timur dengan pelabuhan internasional, pabrik semen (packing), pupuk, dan kompleks industri raksasa yang memutar uang triliunan rupiah setiap hari. Namun di balik gemerlap industri dan geliat investasi itu, ada ironi yang sulit disembunyikan: Gresik belum benar-benar memiliki kemandirian fiskal. Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih jauh di bawah potensi, dan setengah lebih dari APBD bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Kota industri ini kaya aktivitas, tetapi miskin kewenangan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hingga tahun 2022 terdapat 628 perusahaan industri menengah dan besar di Kabupaten Gresik. Angka itu meningkat dari 615 perusahaan pada tahun sebelumnya. Di atas kertas, potensi fiskal dari sektor industri seharusnya sangat besar. Apalagi dengan keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik yang terintegrasi dengan Java Integrated Industrial & Port Estate (JIIPE) seluas 3.000 hektar, terdiri dari 1.761 hektar kawasan industri, 400 hektar pelabuhan laut dalam, dan 800 hektar kawasan permukiman modern. Nilai akumulasi investasi di kawasan ini bahkan telah menembus Rp 100,85 triliun hingga semester pertama tahun 2025, dengan lebih dari 32 industri yang beroperasi dan menyerap sekitar 41.000 tenaga kerja.

Selain itu, Gresik akan menjadi rumah bagi proyek hilirisasi logam seperti smelter katoda tembaga oleh PT Freeport Indonesia yang ditargetkan mampu menghasilkan hingga satu juta ton katoda tembaga per tahun. Ditambah lagi pengembangan pembangkit listrik gas berkapasitas 515 MW yang dibangun untuk menopang kebutuhan energi kawasan industri besar. Semua itu menjadikan Gresik sebagai kawasan dengan potensi ekonomi yang luar biasa.

Namun potensi besar itu belum berbanding lurus dengan kemampuan fiskal dan ketenagakerjaan lokal. Pajak-pajak utama seperti PPh, PPN, dan royalti tetap dikuasai pusat. Pemerintah daerah hanya mendapat bagian kecil dari mekanisme bagi hasil, yang tidak sepadan dengan kontribusi ekonominya. Padahal semangat otonomi daerah yang diatur dalam Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 2014 bertujuan memberi ruang bagi daerah untuk mengelola potensi ekonomi dan menentukan arah pembangunan secara mandiri.

Lebih ironis lagi, sejumlah kewenangan yang dulu sempat dimiliki daerah kini ditarik kembali oleh pusat melalui regulasi turunan dari Undang‑Undang Cipta Kerja. Perizinan industri, tambang, hingga pengelolaan kawasan pelabuhan strategis kini diatur langsung oleh kementerian. Pemerintah daerah seperti Gresik kehilangan daya tawar untuk mengelola sumber ekonominya sendiri. Industri tumbuh, tapi PAD tetap stagnan.

Di sisi ketenagakerjaan lokal, meskipun regulasi sudah menetapkan bahwa perusahaan yang beroperasi di KEK JIIPE wajib menyerap minimal 60 % tenaga kerja lokal melalui Peraturan Bupati Gresik Nomor 71 Tahun 2024. Namun realisasinya belum sepenuhnya tercapai. Misalnya, sebuah perusahaan besar di kawasan tersebut menyerap 673 karyawan dan dari jumlah itu hanya 500 atau sekitar 56,6 % berasal dari Gresik.

Angka ketenagakerjaan pun masih menunjukkan tantangan serius: pada Agustus 2023, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Gresik tercatat sebesar 6,82 %. Artinya, meskipun banyak lapangan kerja tercipta di sektor industri, sebagian besar peluang tersebut belum sepenuhnya dinikmati oleh tenaga kerja lokal secara penuh kualitas maupun kuantitasnya.

Di sisi lain, masyarakat lokal juga menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Aktivitas industri yang padat membawa biaya lingkungan dan sosial yang tak sedikit. Sebagai contoh:

Riset menunjukkan bahwa di kawasan industri Gresik terdapat tingkat konsentrasi gas dan partikel seperti NO₂, SO₂, debu dan ammonia yang melampaui standar kesehatan lingkungan — berdampak pada kesehatan masyarakat, khususnya gangguan pernapasan.

Data dari Dinas Kesehatan mencatat sebanyak 4.361 kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) di Gresik, dengan mayoritas terjadi di kawasan industri.

Indeks Kualitas Udara (IKU) Kabupaten Gresik pada 2019 tercatat sebagai yang terburuk di Jawa Timur, yakni angka 65,81, kemudian meningkat ke 80,99 pada tahun 2021, masih di bawah target nasional.

Kajian terhadap KEK/JIIPE menyebutkan bahwa meskipun investasi besar dijanjikan, di ring-1 kawasan industri seperti desa Kramat dan Tanjungwidoro ditemukan penurunan pendapatan, kerusakan tambak nelayan akibat abrasi dan pencemaran, serta terbatasnya dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat lokal.

Dengan demikian, bagian besar industri di Gresik secara ekonomi menguntungkan dan berkontribusi terhadap PDRB, tetapi beban lingkungan dan sosial ditanggung oleh masyarakat lokal — tanpa bersamaan mendapatkan kompensasi fiskal yang sepadan ataupun jaminan penyerapan tenaga kerja lokal yang optimal.

Kondisi ini akan semakin berat ketika pemerintah pusat mulai menerapkan kebijakan pemotongan dana transfer ke daerah hingga 37 persen pada tahun 2026. Langkah ini dimaksudkan untuk mendorong kemandirian fiskal, tetapi bagi daerah industri yang belum siap, kebijakan tersebut justru bisa menjadi guncangan besar. Kapasitas belanja publik akan menyusut, program sosial dan infrastruktur bisa tertunda, bahkan stabilitas keuangan daerah dapat terganggu. Pemerintah daerah akan dipaksa mandiri tanpa diberi kewenangan nyata untuk menggali sumber pendapatan baru dan tanpa jaminan bahwa masyarakat lokal telah mendapatkan manfaat penuh dari industri yang hadir di tanahnya.

Paradoks ini memperlihatkan wajah otonomi daerah yang setengah hati. Daerah diberi hak untuk berlari, tapi kakinya masih diikat tali pusat. Pemerintah pusat menuntut kemandirian fiskal, tetapi enggan berbagi sumber kekuasaan ekonomi. Gresik, yang semestinya menjadi contoh sukses kota industri mandiri, justru berubah menjadi simbol ketergantungan fiskal di tengah kemajuan ekonomi — sekaligus simbol ketidakadilan dalam penyerapan tenaga kerja dan pembagian manfaat.

Sudah saatnya pemerintah pusat berani mewujudkan desentralisasi fiskal yang sejati. Pajak industri strategis harus memberi porsi adil bagi daerah penghasil. Pemerintah daerah pun mesti lebih inovatif menggali potensi dari sektor logistik, jasa, dan ekonomi turunan industri — serta memastikan bahwa tenaga kerja lokal tidak hanya menjadi angka serapan, melainkan menjadi bagian utama dari rantai nilai industri. Tanpa langkah konkret itu, pemotongan dana transfer bukanlah jalan menuju kemandirian, melainkan jebakan fiskal bagi daerah produktif.

Otonomi daerah tidak boleh berhenti sebagai slogan hukum. Ia harus menjadi kenyataan dalam bentuk kedaulatan fiskal dan sosial di tingkat lokal. Karena tidak ada gunanya menjadi kota industri, bila urat nadi keuangannya dan jaminan kesejahteraannya tetap di genggaman pusat — dan masyarakat lokal hanya jadi penonton.

Baca Juga:

  • Lahan Eks Tambang Sekitar Masjid Agung Gresik Diduga Tak Jelas Status Hukumnya
  • ‘Hutan’ Industri di Pesisir Laut Gresik Menyibak Urat Nadi Ekonomi Rakyat Pesisir
  • Kontorversi Vonis Bebas 2 Terdakwa Pemalsuan SHM di Gresik
  • Gelar Tinggi, Integritas Rendah : Palsukan Dokumen Doktor Hukum Dipenjara 4 Tahun