Bagi Hasil Dinilai Memberatkan, Petani Protes Perhutani

Petani saat melakukan pertemuan dengan pihak Perhutani. Mereka memprotes soal bagi hasil yang dinilai memberatkan.

MALANG (SurabayaPost.id) – Ratusan petani di Desa Jombok, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, memprotes  Perhutani. Pasalnya, pungutan bagi hasil panen buah kopi yang disetor ke pihak Perhutani dinilai terlalu memberatkan dan  tidak transparan.

Ratusan petani pengelola lahan di atas tegakan lahan Perhutani (Petani Pesanggem) tidak tinggal diam. Mereka dimediasi Kades melakukan pertemuan dengan pihak Perhutani di Balai Desa Jombok.  Rabu (24/7/2019).

Menurut ketua petani pesanggem, kelompok Tani Rahayu wilayah hutan, Kastaman,  pungutan hasil kopi yang diminta perhutani sangat memberatkan. Bahkan dinilai tidak setimpal dengan biaya operasional yang dikeluarkan.

” Ya,  pungutan dari hasil petani yang diminta  perhutani terlalu besar. Misalnya dengan luasan tanah satu hektar,  jika kondisi tanaman kopinya bagus dan terawat, itu bisa mencapai 4 ton, sekali panen. Sedangkan pihak perhutani meminta 4 kuintal, seperti itulah kami semua yang merasa keberatan,” jelas  Kastaman.

Selain itu, Kastaman mengaku dalam pungutan dari perhutani itu bervariasi, karena dilihat dari hasil panennya. Celakanya, selain bervariasi, Kastaman mengaku, kalau masih kerabatnya Mandor Perhutani yang mengelola lahan tersebut, dikabarkan tidak dikenakan pungutan dari hasil panen kopi tersebut.

Oleh karena itu, Kastaman berharap pihak perhutani transparan  dan ada aturan jelas terkait pungutan – pungutan yang dilakukan pada  pihak petani pesanggem. Sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial.

“Biaya perawatan lahan seluas satu hektar bagi petani kopi cukup besar, mulai dari perawatan membersihkan ranting, biaya pupuk dan jasa tukang pungut kop dan lain-lain. Itu haaiknya tidak setimpal dengan biaya yang dikeluarkan,” keluh Kastaman.

Dari sebab itu, Kastaman mengaku praktek semacam itu, sudah berlangsung sejak tahun 1980 silam. Sedangkan petani pesanggem buah kopi di Desa Jombok, mencapai 470 petani, dengan luasan total sekira 108 hetar.

“Jadi tak hanya itu, lahan dibawah tegakan kopi tersebut, juga ditanami sejenis rumput gajah, per tahunnya juga dipungut oleh perhutani senilai Rp 260 ribu,” ngakunya.

Hal senada juga disampaikan petani pesanggem, Sujarno. Menurutnya perhutani dalam penarikan bagi hasil panen tersebut, hanya berdasarkan ditafsir dan tidak diatur dengan jelas.

” Kami mempertanyakan dari hasil pungutan bagi hasil panen itu perhutani agar  merinci aliran uangnya dan mengalir kemana saja,” tanya Sujarno.

Sementara itu, Kepala Resort Pemangku Hutan (KRPH) Larahadi, BKPH Ngantang, mengaku sangat mengapresiasi pertemuan tersebut. Alasannya apa yang telah menjadi unek – unek petani pesanggem bisa terurai dan terbuka ada jalan keluarnya.

“Pertama kali disebut dengan pungutan atau retribusi bagi hasil panen dari para petani pesanggem itu  kurang tepat. Tepatnya bagi hasil, karena itu semua sudah diatur yang mengacu pada aturan dalam Perseroan Terbatas (PT ) Perhutani. Perhutani sebagai pengelola lahan, yang menjadi Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) artinya perhutani berjalan sendiri, menghidupi sendiri dari hasil yang ada di lahan perhutani,” tegasnya.

Meski begitu, tegas dia, perhutani tidak melalaikan kewajibannya dalam membayar Pajak Bumi Bangunan (PBB) kepada negara setiap tahunnya. Itu kata dia mencapai puluhan miliar rupiah.

“Dalam membayar PBB setiap tahunnya khusus di wilayah Malang mencapai Rp 11 miliar. Artinya itu yang bisa masuk dalam keuangan negara,” paparnya.

Sedangkan terkait, rincian dari pendapatan bagi hasil tanaman dari petani pesanggem tersebut, menurut Hadilara, seyogyanya dari hasil yang dikelola tersebut, pembagian hasilnya 50 persen untuk petani pesanggem, yang 50 persen untuk perhutani. Sedangkan yang 50 persennya untuk perhutani.

Itu kata dia dengan rincian dari 50 persen hasil yang didapat dari tanaman yang dikelola petani pesanggem tersebut,  10 persennya untuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LKPH) dan yang 6 persen untuk Muspika setempat. “Sedangkan yang 34 persen, untuk kebutuhan perhutani,” urainya.

Makanya, Hadi Lara berpesan, dengan  pertemuan tersebut, bisa ada titik temu dan  menghasilkan kesepakatan yang baik. Menurutnya apa yang menjadi keberatan dari para petani pesanggem supaya segera menemukan jalan keluarnya.

“Artinya semua ini bisa menjadi pembahasan ulang, supaya semua ini ada jalan keluarnya dan saling menguntungkan serta bagi petani pesanggem tidak merasa rugi dan sebagainya. Selain itu, agar berjalan normal dan tidak terjadi gejolak,” mintanya. (gus)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.