BATU (SurabayaPost.id) – Lonjakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP ) di Kota Wisata Batu mencapai 100 persen lebih. Lonjakan itu dinilai menjadi beban berat bagi pembeli dan penjual pada saat transaksi jual beli tanah.
Itu dikatakan warga Desa Pandanrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, inisial AW, Sabtu, (13/6/2020). Menurut AW, itu terjadi pada dirinya.
Menurut dia, tanah yang sebelumnya NJOP nya hanya senilai Rp 125 Ribu di Desa Pandanrejo pada tahun 2019 yang lalu, sekarang mengalami kenaikan senilai Rp 750 Ribu.
“Setelah mau dijual dan harganya tidak mengaku pada NJOP, karena sangat tidak masuk diakal.Namun pada saat saya koordinasi pada dinas terkait, diinformasikan pembayaran pajak penjual dan pembelinya bakal dikenakan sesuai dengan NJOP nya yang baru,” katanya.
Mendapat penjelasan seperti itu, dia menggagalkan transaksi penjualan tersebut,. “Karena terlalu berat kalau pembayaran pajak penjual dan pembelinya disesuaikan dengan NJOP .Padahal tanah tersebut sebelumnya bakal dijual seharga Rp 350 Ribu per meternya,” ungkapnya.
Untuk itu, AW menyarankan kepada pemerintah Kota Batu melalui dinas yang terkait, agar lonjakan nilai NJOP di Kota Batu perlu dikaji ulang, dan Kades setempat juga harus mencarikan solusinya.
Dikonfirmasi terpisah Kades Pandanrejo Abdul Manan membenarkan terkait persoalan tersebut. “Beberapa hari yang lalu puluhan warga Pandanrejo mendatangi Kantor Desa. Mereka menyampaikan seperti yang diutarakan kepada mas media,” katanya.
Meski begitu,kata dia, keluhan puluhan warga tersebut tak hanya terkait lonjakan NJOP saja. “Tapi terkait pembayaran pajak bumi dan bangunan ( PBB) juga dikeluhkan warga kami,” katanya.
Itu, kata dia, dari beberapa warga, mengetahui pada saat melakukan pengurusan sertipikat tanah dan pengurusan kepentingan lainnya.
Di Bank maupun di instansi yang terkait mendapat penolakan. “Pada saat datang kedinas terkait untuk mengurus kepentingannya. Sebelumnya ditanya ada tunggakan PBB atau tidak. Dengan begitu, setelah dicek , warga kami diketahui telah punya tunggakan PBB terhitung sejak Tahun 1998 silam sampai Tahun 2020.Dan itu terjadi pada puluhan warga kami ,” katanya.
Padahal,kata dia, pada tahun 1998 itu pembayaran pajak di Kantor Pajak Pratama Malang.” Dimulainya pembayaran PBB di Kota Batu sejak Tahun 2013 silam. Artinya kalau tercatat tunggakan PBB sejak Tahun 1998 itu sangat tak masuk diakal,” katanya.
Dengan kejadian itu, kata dia, warga nya merasa keberatan dan pengurusan kepentinganya banyak yang digagalkan.Alasannya mereka tidak mampu membayar, olehkarena itu, menurut Manan.
” Seharusnya PBB di tahun 2013 kebawah harus dihapus, kalau benar – benar warga kami punya tunggakan. Terus terang mereka banyak yang mengeluh karena merasa berat dan di desa hadi tumpuhan mengadu,” katanya.
Dengan kejadian itu, saya berharap lonjakan NJOP dan terkait PBB itu dikaji ulang oleh pemegang kebijakan Pemkot Batu.” Dan saya berharap pula kepada para Wakil Rakyat ( DPRD ) Kota Batu, segera bersikap terkait persoalan yang mendera pada warga Kota Batu khususnya warga kami,”katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua 1 DPRD Kota Batu Nurochman yang sapaan akrabnya Cak Nur mengatakan terkait persoalan tunggakan PBB yang ada di pemerintah desa perlu kajian yang comprehensif sebelum diambil kebijakan.
“Satu contoh kebijakan penghapusan piutang pajak. Satu sisi akan meringankan beban masyarakat tapi dari sisi lain harus tetap terpenuhi mekanisme dan prosedur secara hukum,” katanya.
Dengan begitu, kata dia, dalam hal ini peraturan daerah ( Perda) dalam perda menurutnya sudah di amantkan bahwa pemerintah daerah bisa saja melakukan penghapusan piutang pajak PBB.
” Dengan tetap memenuhi ketentuan perundangan, salah satunya adalah batasan besaran piutang PBB yang menjadi kewenangan pemerintah daerah,” katanya.
Tentang kenaikan NJOP, menurut dia merupakan kebijakan dari pemerintah daerah. “Mengenai NJOP salah satunya adalah supaya masyarakat tidak gampang melepas kepemilikan objek pajak yang dimiliki baik yang berasal dari hasil usahanya sendiri maupun yang di dapat dari hibah, maupun waris ,” katanya.
Lantas, kata dia, kenaikan NJOP adalah hasil keputusan pemerintah daerah dengan lembaga yang di beri wewenang untuk melakukan survey dan kajian.
“Ternyata hasilnya memang di luar dugaan kami di DPRD , bahwa kenaikannya luar biasa sehibgga apabila terpaksa pemilik objek pajak mengalihkan/menjualnya maka pajak BPHTP (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) akan sangat tinggi,” katanya.
Tapi, kata dia, sesungguhnya yang harus membayar pajak BPHTB adalah pembeli sementara dan penjual hanya dikenakan pajak penghasilan (PPH ).
” Tentang kenaikan NJOP yang lumayan tinggi itu, kami sudah pernah menyampaikan kepada Badan Keuangan Daerah ( BKD ) untuk mengkaji dan mengevaluasi kenaikan NJOP itu,” katanya sembari berharap ada penyesuaian yang moderat di tahun 2021. (Gus)
Leave a Reply