Memprihatinkan, Nenek Sebatang Kara Hidup di Bantaran Sungai Dekat TPU

Nenek Piani tertatih - tatih berjalan usai mencari air dari rumah terangga

MALANG (SurabayaPost.id) – Seorang nenek yang sudah renta tinggal seorang diri dengan kondisi memprihatinkan. Nenek bernama Supiani itu kini tinggal sebatang kara di dalam rumah berukuran 1, 5 X 4 meter yang sudah lapuk termakan usia.

Nenek berusia 72 tahun ini, merupakan warga yang tinggal di bantaran Sungai Metro berdempetan dengan jembatan Bandulan Sungai Metro (Tengah) yang merupakan titik pantau sungai. Itu dekat dengan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Mergan, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang.

Ditemui di kediamannya, Piani menyambut ramah penuh senyum. Saat itu, ia usai berjalan keliling lingkungan sekitar untuk mencari air dari rumah warga. Berjalan tertatih – tatih, Nenek yang akrab disapa Piani itu kemudian mempersilahkan awak media masuk ke rumah kecilnya.

Ditempat tersebut, Supiani selama ini tinggal seorang diri. Sang suami telah lama meninggal dunia dan ia sendiri juga tidak memiliki anak. Tiga dari empat saudara juga telah lama meninggal dunia. Satu saudaranya yang lain, tinggal terpisah di Arjosari.

Selama ini, untuk beraktivitas, Supiani mengalami keterbatasan. Pasalnya tangan kanannya patah usai terjatuh dari bentor (Becak Motor) setahun yang lalu. Saat itu ia usai mengambil beras di kelurahan setempat dan ketika turun ia kemudian terjatuh hingga menyebabkan tangan sebelah kanannya patah.

Kendati mengalami patah tulang tangan kanan, hingga ia mengalami keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, Piani hingga kini belum pernah mengobatkan tangannya yang patah. Faktor biaya, selama ini menjadi kendala untuk Piani berobat.

“Mpun setunggal tahun Niki (sudah satu tahunan ini). Ajeng e berobat mboten gadah nyotro (mau berobat tidak punya uang). Kadang lek dalu ngih linu mboten (kadang kalau malam linu),” tutur Nenek ini sembari mengusap wajah yang tampak terlihat kerutan.

Untuk bertahan hidup selama ini, Piani sapaan akrabnya, menjadi pencari rongsokan. Kendati mengalami keterbatasan, ia tetap berjuang keras untuk bertahan hidup tidak selalu bergantung dengan orang lain.

“Tapi nggih Alhamdulillah tasek wonten mawon seng mbantu (ya alhamdulilah masih ada saja yang bantu),” lanjutnya.

Susanti, Ketua RT 2 RW 6, Kelurahan Tanjungrejo saat menemui awak media dikediaman Nenek Piani[/cap

Tak terasa, tetesan air mata nenek membuat suasana tampak penuh haru. Awak media yang berada di ruang kecil berlampu teplek bersama nenek ini ikut haru merasakan derita yang dialami nenek Piani.

Beberapa saat kemudian, Piani melanjutkan ceritanya. Sebelum tinggal di kediamannya saat ini, ia dulunya tinggal di sekitar gang 21. Namun kediamannya tersebut telah dijual olah saudaranya, sehingga ia kemudian berpindah tempat di kediamannya saat ini.

“Ngih 20 tahunan teng mriki. Didamelaken Pak RT teng mriki (Sudah 20 tahun, dibuatkan pak RT),” ungkapnya

Sementara itu, untuk menuju rumahnya, cukup mudah dicari. Berjalan menuju arah Bandulan, tepatnya di sebelah jembatan yang melintasi sungai Metro, terdapat gang kecil menuju kediaman Piani, sapaan akrabnya. Tak perlu masuk gang terlalu jauh dan hanya kurang lebih hanya berjarak 20 meter dari jalan utama menuju Bandulan maka sudah akan langsung tiba kediaman Piani.

Disana, hunian Piani tak tampak seperti rumah yang memakai lampu listrik. Sebab sehari-hari dia memakai lampu teplok. Sehingga kediamannya nampak seperti bagian belakang rumah. Hal ini lantaran rumahnya tepat berada atau menempel dengan tembok belakang rumah tetangganya.

Rumah yang didiami Supiani pun tak begitu luas dan hanya berukuran 1,5 meter x 4 meter. Ruang tersebut nampak terbagi menjadi dua ruangan saja. Pada masing-masing ruangan hanya nampak beberapa perabot-perabot lusuh.

Di ruang belakang, bertumpuk sebuah kasur yang terlihat lusuh dan nampaknya tidak terpakai lagi. Disitu juga terdapat sebuah lemari baju kecil serta satu meja kecil.

Di ruangan depan, terdapat sebuah kursi panjang dengan sebuah spoon serta bantal. Di tempat itu, selama ini Piani beristirahat merebahkan tubuhnya. Di ruangan itu juga, Piani selama ini memasak untuk kebutuhan makan dengan menggunakan kompor minyak.

Untuk mandi ataupun mencuci baju, Piani harus keluar rumah dan menumpang di kamar mandi warga setempat sebab di ruangannya tidak tersedia kamar mandi. Begitupun kebutuhan air sehari-hari untuk masak, ia harus keluar rumah mencari air di rumah warga.

[caption id="attachment_20729" align="alignnone" width="640"] Dirumah kecil berukuran 1, 5 X 4 meter dan tanpa penerangan listrik inilah Nenek Piani hidup seorang diri

“Seng penting ngih tetap bersyukur mawon, mboten ngeluh (yang penting tetap bersyukur saja, tidak mengeluh),” terangnya

Sementara itu, Susanti Ibu RT 2 RW 6, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang menambahkan, jika memang benar Supiani selama ini tinggal sendiri dengan keadaan yang serba terbatas.

Rumah yang ia tinggali, dibuatkan pihak RT di atas tanah milik pemerintah. Karena terkendala dengan status tanah, pihaknya kemudian kesulitan untuk pengajuan bedah rumah, sehingga rumah yang dihuni Piani masih belum begitu layak.

“Tapi ya alhamdulliah masih ada yang perhatian. Setiap bulan beliau juga dapat Rasda dari pemerintah,” jelasnya

Meskipun telah mendapatkan rasda dari pemerintah, sebenarnya pihaknya berharap agar terdapat bantuan lain seperti makanan siap saji. Sebab, melihat kondisi dari Piani yang mengalami keterbatasan, jika mendapatkan sembako tentu akan kesulitan dalam pengolahannya.

“Bukannya menolak sembako. Tapi tangannya ini kan retak, kalau harus masak dan yang lainnya kan sulit. Sehingga dengan adanya bantuan makanan siap saji, tentu hal itu akan sangat membantu,” terangnya. (lil)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.