Oleh:
Suparto Wijoyo
Akademisi Hukum Lingkungan dan Wakil Direktur III
Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
PRESIDEN telah datang ke Lumajang membersamai korban erupsi Gunung Semeru. Ini adalah lakon simbolik sekaligus maknawi kehadiran negara atas pekabaran duka lara tiada terkira. Berpuluh-puluh jiwa melayang dan ribuan lagi merasakan keperihan atas luka dan rusaknya harta benda. Prahara ini memang serupa dengan erupsi gunung api yang lazim terjadi di dunia. Ragam peristiwa erupsi sering menggelegak dengan kehancuran ekologis yang besar. Simaklah erupsi Gunung Kusatsu-Shirane, Jepang; dan erupsi Gunung Mayon, Filipina.
Menggugah Kesadaran Baru
Apa yang terjadi di Lumajang memberikan pembelajaran bahwa negara harus menata secara organisatoris agar letusan tidak menjadi “kesengsaraan” dengan korban jiwa, harta dan benda. Dalam batas ini, kesigapan pemerintah adalah opsi tunggalnya. Siapapun yang memanggul amanat negara, pastilah terpanggil membangun wilayah yang berkeselamatan. Rencana melakukan relokasi merupakan solusi terukur agar rakyat terpenuhi hak hidupnya dengan lingkungan yang baik dan sehat (HAM ekologis).
Selama ini di samping bencan alam, terpotret pula peradaban bernegara yang lengah dengan menaburkan polusi. Sejak setengah abad lalu lingkungan mengalami “resesi ekologis”. Kejahatan terhadap lingkungan menyeruak di mana-mana. Ini merupakan “emergency issue” yang menurut Robbert F. Kennedy, Jr. dalam bukunya yang amat informatif dan provokatif Crimes Against Nature, turut menciptakan krisis terbesar di planet ini. Mengikuti bahasa Richard Dawkins, The Magic of Reality (2015), hal itu selaksa fakta yang menyihir dan menguji imajinasi. Planet ini didera pemanasan global. Suhu panas telah dirasakan beberapa negara Asia, Afrika maupun Eropa dengan suhu mencapai 45,9 derajat celsius. Realitas ini sehaluan dengan riset ilmuwan dunia bahwa bumi saat ini menjadi yang terpanas sejak 12.000 tahun terakhir sebagaimana dilansir Samantha Bova dari Rutgers University di akhir Januari 2021.
Indonesia terus belajar agar “terlatih” mengatasi bencana pelanggaran HAM ekologis warga negara. Ada 157 juta jiwa rakyat Indonesia tinggal di daerah rawan bencana. Angka yang mendengungkan lolong kekhawatiran yang mengerikan mengenai perlindungan HAM ekologis. Ratusan juta jiwa terancam HAM ekologisnya. Negara dengan segala alat kelengkapannya memiliki otoritas mencegah pelanggaran HAM ekologis. Hak-hak lingkungan secara yuridis telah mendapatkan perlindungan hukum (”rechtsbecherming”/”legal protection”). Istilah hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat menjalar sebagai konsepsi yang diterima dengan segala konsekuensi hukumnya. HAM ekologis diletakkan dalam takaran konstitusonal sebagai bagian dari HAM yang elementer. Inilah kesadaran baru HAM ekologis itu.
HAM Ekologis sebagai Hak Konstitusional
Indonesia cukup cekatan terhadap hal ini. Berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 Piagam Hak Asasi Manusia yang dimuat dalam Ketetapan MPR‑RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (Ketetapan MPR‑RI No. XVII/MPR/1998): “hak atas lingkungan (hidup) yang baik dan sehat” merupakan “hak fundamental‑konstitusional”. Penuangan “hak atas lingkungan (hidup) yang baik dan sehat” sebagai “subjective rights” merupakan bentuk perlindungan hukum paling ekstensif yang secara hukum tentu memberikan landasan gugatan hukum bagi individu untuk merealisir kepentingannya atas “lingkungan hidup yang baik dan sehat”.Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 Piagam Hak Asasi Manusia (Ketetapan MPR‑RI No. XVII/MPR/1998) memiliki implikasi hukum sebagai dasar gugatan lingkungan yang sangat substantif bagi pemenuhan fungsi hak perseorangan, baik melalui forum pengadilan ataupun di luar pengadilan. Citizen lawsuit (gugatan warga negara) pun dijadikan instrumen pemenuhannya.
Sebagai perbandingan adalah gugatan hukum terhadap pelanggaran HAM ekologis di Philipina dalam The Minor Oposa Case (Supreme Court of the Philippines Decision, July 30, 1993). Mahkamah Agung Philipina mengabulkan gugatan penggugat (41 anak di bawah umur yang didampingi para orang tua mereka melalui kuasa hukum Att. Antonio Oposa, sehingga kasus ini dikenal dengan nama Minor Oposa) berdasarkan “the right to a balanced and healthful environment” yang dirumuskan Konstitusi Philipina (1987), di samping asas “intergenerational equity”.
Dalam The Minor Oposa Case: para penggugat mengajukan petitum pembatalan seluruh izin logging di Philipina yang dikeluarkan menurut Timber’s Agreement oleh pihak tergugat, yaitu: Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Alam Philipina (Secretary of the Department of Environment and Natural Resources (DENR). Majelis Hakim Mahkamah Agung Philipina pada tanggal 30 Juli 1993 memutuskan bahwa penerbitan izin atas dasar Timber’s Agreement tidak sesuai dengan kewenangan DENR dan mendorong ke arah perusakan lingkungan. Mahkamah Agung berpendapat: bahwa negara dan DENR berkewajiban untuk mencegah kegiatan-kegiatan yang dapat merusak lingkungan. Kewajiban DENR untuk melindungi hak atas lingkungan yang baik dan sehat harus dipandang juga untuk kepentingan generasi mendatang sedasar prinsip “intergenerational equity”.
Negara memang berkewajiban mengarusutamakan kepentingan HAM ekologis.Lahan dan ruang terbuka hijau jangan dialihfungsikan tanpa memperhitungkan pesan ekologis wilayahnya atas nama investasi. Jejak waktu 2021 menorehkan kisah kota dan desa, sawah dan ladang, hutan dan lahan berbaris membentuk formasi pelanggaran HAM ekologis. Derita yang bergulir mencatatkan kerugian ekonomi dan ekologi pada tingkatan yang berbahaya. Dan erupsi Semeru melengkapi balutan luka kemanusiaan akibat tragedi ekologis.
Seluruh titik kosmis negara ini sedang bercerita begitu gamblang mengenai pelanggaran HAM ekologis. Peringatan hari HAM saat ini mengingatkan khalayak dunia untuk melahirkan kewajiban kita kepada lingkungan (ecology obligation): teguhkan hak konstitusional lingkungan “sedasar hak asasi alamnya” (nature stewardship principle).
Leave a Reply