Oleh: Suparto Wijoyo
AURANYA sangat kentara tentang fenomena tiarap nasional kaum terdidik di sebuah negara yang ada berada di “rimba demokrasi”. Rimba itu merayap menjadi belantara yang sulit diketemukan rambu-rambu hukumnya walaupun dia menyebut dirinya dalam konstitusi sebagai negara hukum (rechtsstaat). Hukum sedang digiring memasuki pintu gerbang yang kuncinya hanya ada dalam “pemenang pemilu raya” dan semuanya berkata “senada hulubalang”.
Terjadi penghambaan kebangsaan sekelebatan daya nalar yang dibiaskan agar tidak ada yang sungguh-sungguh berbeda. Apabila gagasan dan pikiran tidak sejalan dengan pembopong kedaulatan rakyat, tunggulah saat “peringatan” disampaikan demi langgengnya periodesasi yang diharapkan. Ke depan terbuka kemungkinan sebuah mimpi diadili tanpa mampu membela diri. Segala privasi dimasuki untuk sekadar meraih jabatan yang konon harus diperpanjang lagi.
Situasi di negara tersebut amatlah ganjil untuk ukuran ekspresi berpikir waras dengan segala bentuk media yang terkontrol tanpa ada jeda dan kriteria. Kata tunggal yang diusung menjadi stempel bagi siapa saja yang mencoba menyela adalah radikal. Kata itu adalah lambang “jalan ke neraka”. Kata yang diperhinakan oleh kekuatan untuk memberikan lonceng kegelapan. Berpikir digerhanai dan berdiskusi “dipelototi”.
Kondisinya pekat mengkawatirkan. Genderang yang ditabuh bertalu menyembunyikan maksud keseragaman tetapi mendeklarasikan sebagai pihak yang paling berkeragaman. Kata ideologi yang dimiliki negara sedang “diculik” untuk kemudiaan dibuat mantra yang menggedor diding-dinding rumah penduduknya. Konstalasi sosialnya saling curiga dan kalau tidak mau celaka maka jangan menjadi radikal. Radikal telah direduksi arti kesejatiannya sejurus makna dengan laku kejahatan. Konsekuensinya adalah rakyat di rimba raya itu takut dilabeli radikal, karena itu identik dengan kejahatan, dan setiap kejahatan adalah nista.
Padahal ada sisi lainnya. Seperti dalam kamus-kamus yang beredar di pasaran negara rimba bahwa radikal itu bisa menyangkut pemikiran yang mendasar dengan wujud perilaku yang sangat prinsipal. Dalam radikal terdapat kerangka berlaku yang mampu dibedakan bahwa ini merah dan itu putih. Bukankah setip warna adalah radikal dengan segala perbedaan yang ada. Apabila sebuah warna tidak mampu menunjukkan indentitasnya berarti ia kehilangan jatidirinya, dan tidak ada sebuah keberadaan tanpa ciri khas.
Karakter yang membeda itulah radikal dan biarkanlah saya memberi pendefinisian tersendiri agar semua tidak seragam. Inilah bagian keragaman sebelum akhirnya disepakati para penggunanya. Kata dan bahasa adalah kesepkatan kolektif penggunanya untuk saling sinambung, saling mengerti.
Tetapi di negeri seberang yang berkecamuk di rimba raya itu telah membaurkan yang jelas menjadi remang hingga tidak tahu siapa dia sejatinya.
Subyek persona yang tidak tersamar itulah yang kini berpembungkus gerakan global yang menjustifikasi LGBT. Ketidakjelasaan identitas itu dukuhi jelas untuk mengusulkan bahwa dalam hidup ini ada makhluk antara “adam dan hawa” sehingga terbuka probabilitas-probabilitas “pernikahan antara adam dan hasyim”. Inilah pemantik kodrati yang terus digulir guna membenarkan “satu kejadian” agar biasa digeneralisir. Lantas kampus-kampus pun ditengarai tidak mau disemat radikal maka ikutan saja membenamkan diri dalam “siskamling” LGBT.
Pada sisi ini saya teringat bahawa ini bulan Ramadhan dan sepengalamanku ternyata inilah bulan yang memberikan laku-laku radikal. Siang yang sedianya makan harus mandeg jegrek tidak makan. Inilah rute tauhid tauhid yang menuntun radikalisasi diri setiap orang yang beriman. Dia tidak akan berlaku “LGBT” dengan “menghormati yang tidak berpuasa”.
Pilihan untuk berpuasa itu sendiri adalah radikal. Di bulan juga ada peristiwa radikal berupa suatu malam yang sebobot 83-84 tahun, alis malam seribu bulan. Sebuah malam yang radikal dan itu yang dirindu kaum beriman untuk bermunajat. Apakah ini salah? Janganlah mudah “mengepalkan tangan dan menggerakkan telunjuk sambil memperolok bahwa yang liyan yang radikal. Ayo bijak bertindak.
Penulis adalah :
Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, dan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup-SDA MUI Jatim
Leave a Reply