Socially Distanced and Masked : a Global Dehumanization

Oleh : Prof. Daniel M. Rosyid PhD, M.RINA

Kehadiran Covid-19, entah alami atau hasil rekayasa jahat, telah berhasil diubah oleh WHO tidak saja menjadi bencana kesehatan tapi bahkan menjadi bencana kemanusiaan. Keputusan WHO untuk mempandemikan Covid-19 beserta semua protokol maskering and socially distancing of peoples bersama semburan propaganda media massa berhasil menebar ketakutan atas manusia. Fenomena ini sulit untuk tidak disebut sebagai bioterorisme yang dilegalkan.

Mansia adalah makhluq sosial. Pertanda utama dari makhluq sosial adalah wajah sebagai platform komunikasi. Mulut dengan lidah di dalamnya serta raut wajah adalah instrumen komunikasi yang paling alamiah. Semua kartu identitas harus menunjukkan foto wajah. Bahkan hampir semua gadget saat ini dilengkapi dengan fitur membaca wajah dan aplikasi video conference. Namun pemaskeran wajah dan semburan menjaga jarak itu, selama berminggu-minggu, telah berhasil menyuburkan kecurigaan, dan ketakutan sehingga menggerus manusia anjlok menjadi makhluq dungu dan tumpul rasa mendekati robot yang patuh menjalankan apapun instruksi yang diberikan. Komunikasi tidak lagi dapat dilakukan dengan nyaman dua arah. Komunikasi satu arah yang bersifat instruksional justru makin efektif karena dilakukan oleh sosok yang tidak jelas tapi tanpa masker dan seolah socially closed. Kita telah lama saling dijauhkan secara sosial justru oleh teknologi komunikasi. Semua protokol Covid-19 ini adalah instrumen untuk makin mengasingkan manusia.

Kita bukan satuan biokimia melulu, tapi makhluq sosial sekaligus juga warga negara dengan hak-hak pemberian Tuhan serta dijamin konstitusi tidak bisa menerima situasi ini diperpanjang. Kita memiliki hak untuk berserikat dan berkumpul serta bersuara, termasuk sholat berjamaah di masjid-masjid. Semua protokol kesehatan WHO itu telah merampas hak-hak dasar kita itu. Apalagi kita tahu, bahwa Covid-19 hanya berbahaya bagi kelompok rentan yang secara statistik kecil, maka memaksakan protokol WHO ini untuk semua orang tidak saja mendungukan tapi juga merampas kemerdekaan. Anak anak muda yang sehat dan produktif akan memilih mati memperjuangkan kemerdekaan dan martabat dirinya.

Pada saat situasi pelumpuhan massal ini justru dimanfaatkan oleh anasir jahat global atau domestik tertentu untuk mengambil keuntungan di atas nestapa kemanusiaan, mengail di air keruh, maka pendunguan massal dan perampasan kemerdekaan berskala besar ini harus segera dihentikan. Kita perlu segera kembali ke kehidupan yang sehat secara fisik maupun sosial, yakin menunjukkan wajah tersenyum dengan penuh kehangatan dan keceriaan di ruang-ruang publik dan nyaman merapatkan barisan dalam sholat berjamaah di masjid-masjid.

Rosyid College of Arts
Gunung Anyar, 30/2/2020

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.