Terbius Ekonomi Digital, Kolega Kopi Tak Menerima Uang Tunai

Kolega Kopi saat mengikuti bazar transaksi non-tunai yang digelar BI Malang beberapa waktu lalu di Lapangan Rampal, Kota Malang, Jawa Timur.

JAKARTA (surabayapost.id) – Dampak wabah virus corona disease sangat luar biasa. Jika pada masa krisis moneter (Krismon) 1998 masih tegar, kini UMKM justru ikut kolap akibat Covid-19 itu.

UMKM tak hanya mengurangi masa operasinya. Namun juga memperkaya bahkan mengubah pola transaksinya. Kalau sebelumnya lebih banyak menggunakan uang tunai dalam bertransaksi, kini memakai digital alias non-tunai.

UMKM yang menerapkan pola tak menerima uang tunai setelah wabah Covid-19 menghebohkan itu adalah Kolega Kopi. Kedai kopi yang ada di Jalan Gede, Kota Malang, Jatim tersebut menggunakan transaksi non-tunai setelah terbius ekonomi digital.

“Itu kami lakukan untuk menghindari penularan virus corona. Sebab, kalau menggunakan uang tunai sangat rentan tertular,” jelas bos Kolega Kopi, M Rizki Alfiansyah Hidayah, Jumat (10/4/2020).

Dijelaskan dia bila menggunakan transaksi digital itu manfaatnya cukup banyak. Disebutkan seperti tak perlu menyediakan uang kembalian. Selain itu uang yang diterima bisa langsung masuk rekening.

“Kalau mau belanja bahan kami tinggal order dan melakukan pembayaran secara online. Jadi sangat mudah, karena tak perlu ke ATM,” jelas mahasiswa Universitas Brawijaya Malang ini.

Kemudahan-kemudahan tersebut ternyata disadari banyak UMKM di Indonesia, termasuk di Malang. Hal itu diakui Willson Cuaca Co-founder & Managing Partner, East Ventures.

Wali Kota Malang Sutiaji saat melakukan transaksi non-tunai dengan bos Kolega Kopi M Rizky Alfiansyah Hidayah di stand Kolega Kopi dalam bazar yang digelar BI Malang.

Menurut Wilson, perkembangan ekonomi digital di Indonesia sangat impresif. Nilai pasar ekonomi digital Indonesia telah menembus US$40 miliar pada 2019 dan diproyeksikan mencapai US$133 miliar pada 2025.

Namun, kata dia yang diamini : Melisa Irene, Partner East Ventures, angka tersebut tidak dapat menggambarkan dengan lengkap perkembangan dan potensi pasar digital di Tanah Air.

Lalu dia menyebutkan laporan East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI) yang memetakan perkembangan dan potensi ekonomi digital di penjuru Nusantara. “Itu mencakup data dari 34 provinsi dan 24 kota terbesar,” jelas dia.

Laporan EV-DCI menunjukkan bahwa ekonomi digital yang saat ini tumbuh pesat, hanyalah sebagian kecil dari potensi Indonesia. Pertumbuhan bakal makin melesat jika Indonesia bisa menanggulangi beberapa kendala yang dihadapi.

Di antara kendala itu seperti keterbatasan talenta digital. Selain itu pelaku usaha yang enggan menggunakan produk digital, hingga akses atas layanan finansial yang rendah.

Menurut dia, EV-DCI juga menggambarkan ada ketimpangan perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Skor daya saing digital Jawa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pulau lain. Sedangkan selisih skor antara Jakarta dengan provinsi lain di Jawa masih sangat besar.

“Infrastruktur internet yang lengkap dan tingkat adopsi digital yang cepat membuat Jakarta sebagai magnet industri digital dan pendiri-pendiri startup baru. Skor daya saing digital Jakarta (EV-DCI = 76,8) adalah yang tertinggi di Indonesia,” jelasnya.

Namun, lanjut dia, beberapa kota lain juga menunjukkan perkembangan yang menarik. Kota berukuran
sedang seperti Malang (EV-DCI = 47,2), misalnya, mampu menempati posisi 10 besar. Posisi Malang sebagai “dapur” industri digital Indonesia membuatnya unggul dalam aspek talenta digital

Selain itu Balikpapan adalah kota dengan daya saing digital paling tinggi di Kalimantan (EV-DCI = 44,2).
Kehadiran perusahaan-perusahaan besar di Balikpapan membuatnya sebagai tempat pertemuan pekerja berkeahlian dari seluruh Indonesia.

Kota dengan daya saing paling tinggi di Sumatera adalah Medan (EV-DCI = 50,3). Meskipun memiliki infrastruktur yang kuat dan pasokan talenta yang memadai, kata dia, Medan mencatatkan skor yang rendah dalam hal adopsi digital.

Di wilayah bagian timur Indonesia, Makassar dikatakan merupakan kota dengan daya saing paling tinggi (EV￾DCI = 46,8). Posisi ini tidak mengherankan karena Makassar adalah pusat ekonomi di regional timur.

Namun, lanjutnya, skor penetrasi layanan finansial digital dan tingkat adopsi UMKM atas layanan digital sangat rendah. “Laporan dan data yang lengkap bisa diunduh di east.vc/dci,” jelasnya.

Menurut dia, dari data yang disajikan EV-DCI, para pemangku kepentingan dan sektor publik dan sektor swasta bisa dapat gambaran. Setidaknya dapat saling membandingkan tingkat pemanfaatan teknologi digital di wilayah masing-masing.

Misalnya, bagi pemimpin di tiap daerah, dengan memanfaatkan indeks tersebut dapat semakin terpacu untuk berlomba menciptakan ekosistem yang terbaik bagi perkembangan ekonomi digital. Baik itu lewat pembangunan infrastruktur, pengembangan talenta, maupun regulasi yang tepat.

Bagi para pemain besar di industri teknologi Indonesia, jelas dia, EV-DCI bisa menjadi panduan untuk
melangkah lebih jauh dari kota-kota besar ke seluruh pelosok Tanah Air, untuk membantu lebih banyak bangsa Indonesia menikmati manfaat perekonomian digital. “Karena itu untuk mereka yang akan atau baru merintis bisnis, EV-DCI adalah sebuah peta peluang,” pungkasnya. (Gus)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.