Daniel Mohammad Rosyid
@RosyidCollegeOfArts
Pada saat sekolah mulai buka kembali dan kampus bersiap untuk kuliah luring, terdengar kabar penularan Omicron cepat di beberapa daerah. Usai praktikum luring, 40 mahasiswa di Bogor dikabarkan terpapar Omicron. Akhir bulan ini, Pemerintah memberlakukan kembali PPKM level 1, 2 dan 3 di seluruh Jawa dan Bali. Kebijakan penanganan pandemi selama 2 tahun tidak berubah mendasar sekalipun tingkat vaksinasi sudah lumayan tinggi. Orang sudah mulai berbicara dan antri vaksinasi ke 3 atau booster.
Beberapa hari lepas the US Supreme Court menolak kebijakan Presiden Joe Biden untuk memperpanjang vaksinasi wajib. Sementara itu, PM Inggris Boris Johnson mencabut semua protokol Covid-19 di Inggris, termasuk vaksinasi wajib untuk berbagai layanan publik. Masyarakat kedua negeri itu ageing. Pemerintah negeri kepulauan bercirikan Nusantara yang sedang memanen bonus demografi ini tetap mengambil kebijakan penanganan covid yang bisa memperburuk learning and working loss atas warga muda produktif. Kerugian sosial, ekonomi dan budaya bangsa ini tidak dihitung. Sebagai kebijakan publik ini dapat merupakan maladministrasi.
Mengherankan, selama dua tahun pandemi, dunia kesehatan kita belum berhasil merumuskan manajemen Covid-19 mandiri yang lebih efektif dan efisien. Padahal data kasus melimpah. Layanan kesehatan yang lama dipengaruhi industri farmasi asing, kini tampak didikte oleh industri test diagnostics dan vaksin asing. Ini sangat disayangkan. Pada saat industri kesehatan ditengarai menuai banyak keuntungan, masyarakat tetap diposisikan sebagai konsumen dungu tanpa banyak pilihan. Bahkan sel-sel tubuhnya juga dianggap tidak pernah belajar menghadapi virus ini. Public liberty terus dirampas dengan alasan public health emergency of international concern. Intimidasi bagi rakyat yang tidak bersedia divaksin terus disemburkan. Bahkan untuk kembali ke sekolah dan kampus, murid belia dan mahasiswa wajib vaksin.
Dunia kampus sudah kehilangan akal sehat. Setiap masalah tidak pernah memiliki solusi tunggal. Mestinya kampus cukup memiliki imajinasi untuk menemukan solusi yang komprehensif juga lebih berpihak pada mahasiswa yg harus merogoh kantong cukup dalam untuk kuliah. Kini prospek kuliah luring suram kembali. Jangan jadikan mahasiswa menjadi korban kemiskinan imajinasi kampus.
Sementara itu pilihan memperkuat imunitas tidak pernah memperoleh perhatian pengambil kebijakan. Yang diutamakan selalu mencegah penularan. Padahal tertular virus ini bagi warga muda yang sehat bukan masalah besar. Mereka mungkin akan sakit ringan sebentar, tapi akan segera sembuh dengan istirahat, obat dan diet serta pola hidup sehat. Peningkatan aktifitas fisik dan mental serta spiritual justru menguatkan imunitasnya. Menahan mereka di rumah dan menghabiskan waktu di depan TV dan gadget justru menggerus imunitas mereka.
Ivan Illich mengingatkan 50 tahun silam bahwa saat layanan kesehatan dimonopoli oleh rumah sakit, masyarakat sering diposisikan sebagai pasien dungu korban iatrogenesis : semula sehat, namun justru tertular lalu sakit selama proses diagnosis di rumah sakit karena salah penanganan atau keracunan obat. Saya duga covid-related deaths banyak disebabkan karena sebab-sebab iatrogenik. Isolasi pasien dari kerabat dekat ikut memperburuk kondisi pasien. Pasien dengan comorbid justru tidak tertangani comorbidnya. Kepanikan massal yg tidak perlu ikut menyebabkan layanan rumah sakit runtuh. Kasus iatrogenik sudah banyak terjadi di dunia dan sudah menjadi kajian baku dalam ilmu kesehatan masyarakat.
Di tengah tekanan industri farmasi dan vaksin, profesi kesehatan harus berjuang menjaga independensinya demi kemuliaan dan kehormatannya. Sebagai penyintas Covid-19 paruh baya, Saya harap, bagi negeri yang sedang memanen bonus demografi ini, ada perubahan mendasar dalam kebijakan pemerintah menghadapi pandemi ini. Pandemi ini mungkin tak-terelakkan, tapi bisa dikalahkan. Jangan sampai mass learning and working loss pada generasi muda ini menjadikan bonus ini menjadi bom demografi.
Gununganyar, Januari 27, 2022
Leave a Reply