Penggelembungan Fakta dalam Berita

Oleh: _*Yunanto*_

Etik adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; bermuatan nilai mengenai benar-salah yang dianut. Di dunia kewartawanan, etik dimaksud konkretnya adalah Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Abai terhadap etik dalam berkarya jurnalistik, masih kerap terjadi di berbagai media massa. Kian mencolok seiring meningkatnya jumlah media siber. Peliknya, tidak diimbangi peningkatan mutu jurnalisnya.

Salah satu tindakan abai etik adalah penggelembungan fakta berkategori perbuatan melawan hukum. Serupa meski tak sama dengan modus operandi koruptor menggelembungkan anggaran proyek.

Wujud konkret penggelembungan di jagat kewartawanan lazimnya berupa membesar-besarkan fakta. Dilakukan lewat karya jurnalistik berwujud berita (news). Lahirlah berita yang isinya malah tidak sesuai dengan fakta. Baik fakta peristiwa maupun fakta pendapat.

Itulah berita pelintiran. Judul dan isinya fakta bercampur aduk dengan opini jurnalisnya. Tanpa konfirmasi, nihil _check and recheck_, tidak berimbang.
Bermuatan menghakimi dan melanggar asas praduga tidak bersalah. Pendek kata, menghancurkan etik berkarya jurnalistik yang diamanatkan Pasal 3 KEJ.

*Sanksi Pidana*
Kasat mata karya jurnalistik pelintiran dalam bahasa hukum pidana disebut _actus reus_. Maknanya, esensi dasar dari perbuatan melawan hukum yang telah selesai dilakukan dan kasat mata. Sikap batin Sang Jurnalis saat melakukan penggelembungan fakta berwujud berita pelintiran itu disebut _mens rea_.

_Actus reus_ dan _mens rea_ harus dipenuhi (dibuktikan), jika didalilkan (disangkakan, didakwakan) sebagai suatu perbuatan melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi pidana. Kewajiban pembuktian dibebankan kepada pihak yang mendalilkan (menyangkakan, mendakwakan).

“Perkosaan” atas fakta dalam karya jurnalistik pelintiran bisa dalam berbagai bentuk. Bisa berbentuk berita ringan (soft news) dan berita lurus/berita langsung (straight news/spot news). Bisa pula berupa berita mendalam atau reportase mendalam (indepth news/indepth reporting), features dan bentuk lain.

Sudah pasti, karya jurnalistik yang sarat muatan “perkosaan” atas fakta melanggar etik (KEJ) dan norma hukum positif (UU Pers, KUHPidana, UU ITE dan undang-undang lain). Ancaman berupa sanksi pidana, sesungguhnya “lumayan” berat. Penjara!

Pelanggaran terhadap Pasal 3 KEJ, nampak paling mencolok. Ada lima unsur dalam pasal tersebut yang masih saja kerap dilanggar. Rincinya, (1) tidak menguji informasi, (2) tidak berimbang, (3) mencampuradukkan fakta dengan opini, (4) menghakimi, (5) melanggar asas praduga tidak bersalah.

Jurnalis wajib menaati KEJ adalah amanat undang-undang. Tegas dan lugas termaktub di Pasal 7, ayat (2), UU No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Sungguh ironis bila jurnalis meremehkan KEJ

*Amplifikasi*
Tinjauan terhadap penggelembungan fakta dalam karya jurnalistik, bisa dilakukan dari sejumlah aspek. Satu di antaranya dari aspek kadar amplifikasi fakta yang “diperkosa” dengan modus operandi penggelembungan.

Terminologi amplifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan: (1) pembesaran, perluasan tentang jumlah atau kepentingan; (2) pengembangan naskah berupa uraian, penjelasan, atau penggunaan banyak kata oleh penyalin kemudian dimasukkan ke dalam naskah berikutnya; (3) sarana dalam bahasa yang digunakan untuk memperluas, memperbesar atau memberikan tekanan pada suatu objek.

Karya jurnalistik apa pun bentuknya, tidak dibenarkan diamplifikasi (digelembungkan, dibesar-besarkan). Secara etik hal tersebut bertentangan dengan KEJ. Bisa dipastikan melanggar Pasal 3 KEJ.

Silakan saja jurnalis mengembangkan pendapat umum. Syaratnya, wajib konsisten mendasari karya jurnalistiknya dengan informasi yang tepat, akurat dan benar (Pasal 6, huruf c, UU Pers).

Berita pelintiran hasil penggelembungan fakta, hakikatnya sama dengan berita diamplifikasi. Sudah pasti terjadi erosi fakta di dalam berita. Baik terhadap fakta peristiwanya, fakta pendapat maupun gabungan dua fakta tersebut.

Fakta dalam karya jurnalistik yang diamplifikasi jelas menyesatkan sekaligus merugikan khalayak komunikannya. Betapa tidak, mereka (khalayak komunikan) disuguhi berita pelintiran. Jelas bermuatan kebohongan bergaya hiperbola.

Berita pelintiran dapat dipastikan tidak bermuatan pencerahan bagi khalayak komunikannya. Tugas dan fungsi jurnalis sebagai penjaga gawang aspirasi publik, telah dinodai. Elan jurnalis turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, dikhianati. Nista!

Disimak dari aspek “hukum” publisistik praktika (jurnalistik), jurnalis yang memproduksi berita pelintiran tidak berorientasi pada komunikannya. Padahal orientasi itu wajib, agar karya jurnalistik (berita) tersebut bermanfaat positif bagi sebanyak-banyaknya komunikan.

Lewat tinjauan tersebut dapat dipastikan berita pelintiran tidak mempedulikan bobot nilai berita. Hal yang diutamakan hanyalah “mempengaruhi” sebanyak-banyaknya komunikan agar kebohongan dalam berita pelintiran diyakini sebagai kebenaran.

Berita pelintiran adalah karya jurnalistik terburuk. Lahirnya dari “rahim” kepentingan dan target “Sang Pemesan”. Pasti, menginjak-injak etik berkarya jurnalistik dan norma hukum positif. Lupa, bahwa “kiblat” jurnalis adalah fakta. ( ☆ )

#Yunanto adalah wartawan senior

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.